Ziarah adalah Harapan di Penghujung Waktu Sebelum Tutup

oleh -646 Dilihat

KILASJATIM.COM, Malang – Keris itu bergerak menunjuk arah, menuntun kemana kaki renta itu melangkah. Mencari pasangannya, meski puluhan tahun berpisah. Tanpa kabar dimana ia tinggal.

Begitu yang disuguhkan film Ziarah, besutan BW Purbanegara yang lansir pada 2016 dan meraih berbagai penghargaan FFI dan Majalah Tempo sebagai penulisan skenario asli terbaik. Dan tayang di bioskop setahun berikutnya.

Film itu menjadi bahasan kami, saya dan Bulan. Tentang cinta yang absolut seorang perempuan bernama Mbah Sri yang diperankan Ponco Sutiyem. Perempuan 95 tahun, tanpa alamat jelas, mengembara. Keluar masuk desa dan kuburan untuk mencari kepastian dimana ia ingin dimakamkan ketika ajal menjemput. Ya, ia mencari makan suaminya Prawiro. Nenek satu cucu ini ingin makamnya bersanding dengan lelaki yang dicintainya.

Prawiro seorang tentara, agresi militer Belanda II di Jogja pada 1948, membuatnya terpisah. Dan itu pertemuan terakhir mereka.

Kabar menyampaikan, Prawiro mati ditembak Belanda. Luka parah di bagian dada dan perut. Harapan tipis untuk hidup. Namun, ia lolos dari maut. Konon karena campur tangan keris yang disimpan dibalik seragamnya.

Perang membuat keduanya terpisah.
Kawan seangkatan satu per satu pergi, dimakamkan bersanding dengan suami masing-masing. Anaknya pun telah mendahului. Tinggal seorang cucu Prapto yang bekerja di kota dan hendak menikah.

Jika meninggal, Mbah Sri ingin dimakamkan bersanding dengan suaminya. Satu persatu kawan seperjuangan didatangi, setiap kabar dirangkai, setiap daerah dikunjungi. Dan keris itu cukup membantu kemana arah harus dituju.

Sebelum mereka berpisah, masing-masing membawa sebilah keris lanang-wedok (laki-perempuan). Keris lanang dibawah Prawiro dan keris wedok disimpan Mbah Sri. Keris inilah yang menuntun pada peraduan Prawiro.

Baca Juga :  Mau Sukses, Orang Dalam, Jalur Dalam dan Terdalam

“Apakah semua orang ingin begitu. Sampai mati bersama?” tanya anak gadis saya.

“Iya, ” kata saya.

“Kasian sekali nenek itu, pencarian yang menyakitkan. Ketemu kuburan suaminya jejer sama perempuan lain. Padahal ia cuma ingin dikubur berdampingan, ” kata Bulan ibah.

Melihat adegan Mbah Sri menukan makam suaminya tidak sendiri, ada nama perempuan di sebelahnya, sungguh menguras emosi. Antara sedih, kasihan dengan Mbah Sri yang berjuang menemukan cintanya. Dan marah dengan keadaan yang seolah mempermainkan nasibnya. Namun semua telah terjadi, sebagai perempuan Mbah Sri menerima keadaan sekali pun marah. Ia menjaga, membersihkan malam keduanya dengan tulus dan cinta yang tersisa.

Saya sampaikan, seringkali kenyataan tak seindah yang kita inginkan. Apalagi zaman perang, minim alat komunikasi. Hidup berpindah-pindah sebagai pengungsi. Begitu pula tentara yang gerilya. Tidak banyak pilihan, jika tidak bertemu pada waktu yang dijanjikan berarti mati.

Waktu itu perempuan dituntut menerima keadaan. Hanya sedikit orang yang berani mencoba peruntungan. Mbah Sri satu diantaranya.

“Ya, setidaknya kita tidak mati penasaran. Ingat perempuan itu makhluk kompromi. Juga Mbah Sri, meski kecewa ia tetap merawat makam suami dan perempuan itu,” ucap saya.

Menjadi pertanyaan, apakah kita bisa setulus hati mencintai seperti Mbah Sri. Cinta yang membuat semesta bicara, keris sebagai media penyatu. Menunjuk arah mana harus dituju.
Tanpa kuota dan google map.

Begitulah Ziarah, sebuah drama kehidupan, mengisahkan tentang keyakinan, pencarian, penantian dan harapan di penghujung waktu sebelum tutup usia. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.