Memutus Rantai Siklus Santri di Tahun Politik

oleh -913 Dilihat

Oleh Muhammad Naufal Arsy Katon

Alumni Ponpes Bumi Shalawat, Ketua HIPMI PT ITS

Masa kampanye Pemilu 2024 resmi digelar mulai 28 November 2023. Meski substansi kampanye, yakni mempromosikan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) beserta para calon anggota legislatif (caleg) sudah dimulai jauh hari sebelumnya, namun tanggal tersebut menjadi titik mula yang sah dan formal agenda lima tahunan ini dimulai.

Dan dalam siklus politik lima tahunan ini, santri selalu menjadi komoditas utama. Semua pasangan calon berupaya menautkan diri kepada para santri, mulai dari kunjungan ke pondok-pondok, sowan ke para kiai, bahkan membangun narasi bahwa dia dan keluarganya memiliki kedekatan khusus dengan warga Nahdlatul Ulama. Semuanya dibangun untuk memberi persepsi bahwa mereka adalah bagian dari kelompok santri.

Di ajang pemilu juga, pondok pesantren mendadak ramai dengan berbagai bantuan. Tak terkecuali swasta, korporasi, bahkan individu-individu berupa pengusaha atau tokoh masyarakat berebut menjadi donatur. Pondok pesantren banjir hibah dan CSR. Para kiai menjadi susah ditemui karena barisan para tamu antri berebut restu.

Situasi ini memang “alamiah” dalam konteks politik. Warga Nahdlatul Ulama adalah market size terbesar dalam hal irisan populasi pemilih berdasarkan identitas keormasan. Dan santri adalah salah satu kelompok terbesar di dalamnya. Laporan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama yang dikutip KataData menyebutkan, ada 4,37 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2020/2021. Mereka bernaung di bawah 30.494 pondok pesantren.

Jumlah tersebut masih menunjukkan data santri yang masih aktif. Tidak termasuk alumni santri yang sampai saat ini masih memiliki kesadaran sebagai bagian dari komponen santri dalam rumah besar Nahdlatul Ulama. Seperti penulis sendiri yang meski sudah lulus dari Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat pada 2021 lalu, masih merasa sebagai bagian dari kelompok santri. Populasi yang begitu besar dengan karakter yang identik dengan masyarakat religius-tradisional, dengan sendirinya membuat gerakan-gerakan politik akan menyasar santri sebagai upaya untuk mendulang dukungan.

Masalahnya, hingga berulang kali siklus lima tahunan ini berlangsung dari masa ke masa, tidak banyak benefit yang bisa didapatkan oleh para santri. Dan relasi antara para aktor-aktor politik dengan santri juga tidak banyak berubah. Mereka hanya menjadi tamu lima tahunan dan para santri selalu membuka pintu yang luas untuk siapapun menjadi tamu dengan berbagai kepentingannya. Hingga beberapa kali situasi ini berlangsung, santri masih menjadi bagian dari kelompok tradisional yang cuma jadi penonton.

Setelah sekian lama, seharusnya ada cara pandang baru dalam menghadapi siklus politik ini. Santri harus mendorong perubahan skema relasi yang sudah mapan. Apalagi, para santri yang hari ini masih aktif mondok, semuanya bisa dipastikan berasal dari kelompok Generasi Z.

Generasi Z relatif tidak punya kepentingan apapun dibanding generasi di atasnya bisa mendorong inisiatif-inisiatif perubahan agar santri bisa naik kelas.

Baca Juga :  Kilas Balik Budaya Indonesia, UMM Gelar 'Tomboan Duwe Gawe'

Saya kira ada beberapa hal yang penting bagi para santri untuk bisa memutus rantai siklus lima tahunan tersebut. Pertama, pola relasi tidak boleh hanya sekadar menjadi penyumbang suara terbesar. Santri tidak bisa hanya dicari suaranya. Santri harus difasilitasi untuk berusaha dan berdaya agar bisa melakukan mobilitas vertikal dalam tangga perekonomian. Dan ini membutuhkan lebih dari sekadar bersorak sorai saat pondoknya didatangi capres atau cawapres.

Kedua, santri juga harus melihat bahwa agenda lima tahunan ini sebagai momentum untuk membangun jaringan. Hanya di ajang lima tahunan ini para elit punya kesempatan untuk turun hingga ke desa-desa termasuk ke pondok-pondok. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun kolaborasi karena tanpa pilpres pintu komunikasi mustahil akan terbuka seintensif ini.

Ketiga, tentu, tinggal para santri membangun kapasitas dirinya agar ketika momentum itu terjadi mereka sudah siap. Sebab, konon, keberuntungan adalah kapasitas yang bertemu peluang. Karena itu, hingga peluang belum datang, santri harus terus meningkatkan kapasitasnya. Bukan meningkatkan kapasitas saat peluang baru datang karena mereka akan sudah sangat jauh tertinggal dengan para entitas lainnya.

Kebetulan, usai lulus dari Pondok Pesantren Bumi Shalawat, saya memilih untuk masuk dalam bisnis-bisnis skala mikro dengan entry barrier yang tidak terlalu sulit. Beberapa di antaranya adalah usaha clothing, warung kopi, dan manajemen media sosial. Di unit-unit usaha tersebut, saya sebagai santri berusaha menempa diri saya dengan pengalaman empiris merintis usaha mikro. Untuk mengetahui bagaimana santri bisa mentransformasi dirinya dari belajar agama menjadi belajar usaha. Dari belajar nilai-nilai tradisi kini berurusan dengan indikator-indikator kinerja bisnis.

Dalam bisnis tersebut, saya juga melibatkan beberapa santri. Saya memberi mereka kesempatan untuk meniti tangga bisnis dalam konteks ekonomi mikro. Mereka menjadi kasir, pembuat kopi, hingga manajer warung yang bertanggung jawab terhadap stok bahan makanan dan laporan keuangan. Dari sana saya bisa mengambil pelajaran bahwa santri relatif punya keunggulan dalam hal nilai-nilai integritas dalam bisnis seperti kejujuran, disiplin, dan komitmen dalam pengelolaan. Akhlak santri relatif bisa diandalkan. Tapi kelemahan yang hampir pasti terjadi pada santri selain permodalan adalah kesempatan dan kepercayaan dari para pelaku usaha.

Santri sudah kadung dianggap sebagai sosok tradisionalis yang membuat mereka mengalami stereotype tidak berpikiran jauh ke depan. Tidak memiliki visi bisnis yang progresif. Selain itu, santri dianggap tidak punya kapasitas untuk mengelola bisnis. Kapasitas yang menjadi top of mind para santri hanya mengurusi kampanye dan hal-hal yang terkait erat dengan siklus lima tahunan yang sudah dibahas di awal tulisan ini.

Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Amin Said Husni pernah mengatakan selama ini santri kerap dipandang sebagai kelompok yang tertinggal karena terlalu kuat menjaga dan memelihara tradisi lama. Padahal, santri lebih dari itu. Sejarah Indonesia menjadi saksi bahwa deretan santri yang sukses di dunia bisnis, korporasi, pemerintahan, hingga politik cukup banyak. Santri yang duduk di komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), direktur perusahaan, bahkan pemilik dari bisnis-bisnis juga ada.

Baca Juga :  Faktor Besar Gerindra Jatim Sumbang Elektoral Prabowo-Gibran

Saya sendiri sejak lulus dari pondok sengaja tidak hanya terjun langsung di dunia bisnis tapi juga berusaha masuk ke dalam jaringan para pengusaha muda. Kebetulan, sejak kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tahun lalu, saya terpilih sebagai ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Perguruan Tinggi (PT). Saya melihat, jaringan bisnis adalah jaringan yang sangat plural. Sangat multikultur. Sektor yang dihadapi juga sangat beragam.

Bagi santri, pengalaman untuk masuk dalam jejaring bisnis dengan ekosistem yang jauh lebih luas daripada pondok sangat diperlukan. Sebab, ini akan mengasah kepiawaian mereka. Membuat mereka bisa berinteraksi dengan gagasan-gagasan lain di bidang sosial, sains, hingga teknologi. Mereka juga terasah untuk bernegosiasi dan berkompromi. Kompromi dengan nilai-nilai yang berbeda dengan yang selama ini mereka pelajari di pondok. Bukankah Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal?

Kontribusi pemerintah terhadap santri bukan berarti tidak ada. Justru sangat banyak. Berbagai program yang menyasar para santri sudah dibuat agar mereka bisa berdaya. Mulai dari gerakan Santripreneur yang digelar sejak 2013 dan kini, menurut rilis resmi pemerintah, sudah membina sebanyak 10.469 santri dan 101 pondok pesantren di berbagai wilayah Indonesia. Belum lagi program-program dari perbankan milik pemerintah yang secara khusus membuat program-program khusus santri dan pondok.

Namun, dampak yang lebih nyata, terutama penciptaan lapangan kerja oleh santri, harus terus dioptimalkan melalui penajaman target, klasterisasi santri dan pondok berdasarkan potensi pemberdayaannya, hingga aspek-aspek yang langsung berkontribusi terhadap santri seperti permodalan, fasilitasi pasar, dan peluang untuk menjadi bagian dari rantai pasok industri.

Situasi ini juga harus membuat santri move on dari skema yang kadung lekat dengan siklus lima tahunan ini. Santri juga harus sadar, bukan lagi kelas mereka untuk terlibat dalam kerja-kerja pengerahan massa. Dan acara-acara yang cuma jadi seremonial belaka. Mereka perlu untuk mengasah gagasan mereka terhadap ide-ide pengembangan ekonomi masyarakat, membangun jaringan yang solid, tidak hanya antar santri tapi lebih penting lagi dengan para pengusaha, dan momen-momen tersebut banyak terjadi di hari-hari ini di mana agenda pilpres, pileg, menjadi satu. Paling tidak hingga 14 Februari mendatang—kalau tidak jadi dua putaran.

Waktunya memang pendek tapi harus dilakukan. Daripada kita menunggu lima tahun lagi dan harus menghadapi situasi yang sama. (pur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.