Tidak Ada Sunset di Kaki Langit

oleh -817 Dilihat

Foto: Kilas Jatim/Tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Petang di akhir pekan, hujan tidak turun seperti biasa. Bulan ingin menyaksikan matahari terbenam di kaki langit. Dari rooftop Semeru Art Gallery cafe ia menunggu saat itu tiba, Sabtu (16/12/2023). Namun, yang ditunggu tak menampakkan diri.

“Sekarang matahari terbenamnya sebelah mananya, di situ gedung di situ juga,” katanya sambil menunjuk gedung bersusun, mungkin hotel, rumah sakit atau tempat hiburan yang kini tumbuh subur, seperti jamur di musim hujan.

Ya, kami tak melihat kaki langit seperti waktu itu, ketika rangkaian Gunung Putri Tidur, rangkaian Gunung Panderman di bagian kaki dan Gunung Kawi bagian kepala masih terlihat ketika ia kanak-kanak.

Perubahan tak bisa dihindari. Waktu memakan segalanya juga ingatan masa itu. Tak melihat yang dicari, kami ngobrol apa saja dari persiapan belajar tes masuk perguruan tinggi dan berandai-andai jika kuliah di luar kota. Atau sebaliknya, bila tidak diterima di kampus yang diinginkan.

“Aku berpikir plan B. Gak mungkin masuk kuliah jalur mandiri yang puluhan juta. Kasihan mama. Mendingan aku kerja apa saja, asal halal sambil nyoba tahun berikutnya,” katanya.

Mengantongi ijazah SMA, mungkin bekerja sebagai pelayan restoran. Penjual jus, salad, bekerja di counter hape atau apa saja. Mungkin juga sebagai karyawati di mall, sales makanan, minuman dan cleaning service.

“Entahlah, aku akan bekerja sebagai apa. Setidaknya sudah siap-siap, harus bekerja kalau tidak kuliah. Biar ga jadi beban keluarga,” ungkapnya.

“Semoga diterima kuliah di kampus yang di inginkan. Jangan dipikir terlalu serius. Jalan masih panjang, banyak kemungkinan dan pilihan,” kata saya sambil menikmati kopi Toraja.

Baca Juga :  Warga Malang Diminta Maksimalkan Peran PMI sebagai Cermin Membangun Kota Modern

Ia terdiam, ditengah kesibukan pikiran masing-masing. Sirine mobil polisi meraung keras di jalanan yang padat pada akhir pekan ini. Patwal begitu tulisan yang terbaca pada sisi kendaraan. Membelah jalan untuk rombongan mobil Alphard ber plat hitam.

“Itu pasti pejabat. Jika bukan pasti orang kaya,” ucapnya untuk dirinya sendiri atau saya, entahlah. Lantas kami diam dengan gadget ditangan.

Belakangan Bulan sering diam di kamar. Atau mengajak saya jalan berdua, sekadar ngopi atau makan mie goreng. Juga hari ini, tadinya berencana ke Ngawonggo, tapi jarak yang lumayan jauh dan waktu berangkat terlalu siang, maka Semeru Art Gallery jadi pilihan. Dekat dengan rumah, harga yang merakyat sekalipun masih di seputaran Kayutangan Heritage.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang. Yang pasti tidak pernah sekali pun mengultimatum agar kuliah jurusan A atau B. Harus diterima di kampus ini atau itu, tidak. Saya bukan tipe yang demikian.

Saya hanya menyampaikan, jika saya ibu yang tidak bisa membiayai anaknya kuliah di kampus favorit dengan jalur mandiri, dengan biaya puluhan atau ratusan juta. Saya ibu yang mendukung penuh anaknya melanjutkan pendidikan melalui jalur sewajarnya, sesuai kemampuan dengan biaya terjangkau.

Mungkin terdengar kejam. Tapi inilah saya, dengan segala kemampuan dan keterbatasan. Saya juga tidak melarang jika ia ingin bekerja di restoran atau toko roti misalnya. Asal ia senang dan halal tentunya.

Ditengah obrolan kami. Si bapak yang sejak pagi lelap setelah semalam begadang menelpon. Menanyakan keberadaan kami, sebab ketika bangun dari peraduan, semua tengah menikmati dunia, di akhir pekan. Setelah penat ujian. Juga si Bulan yang mulai berpikir masa depan. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.