Perjalanan Mengenali Kemanusiaan dan Keyakinan

oleh -1109 Dilihat

Foto: kilasjatim/tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Dua bulan lamanya saya tidak bisa menulis. Isi kepala ini bercabang ke mana-mana. Dari ketakutan dan salah merangkai kata. Membuat tujuh atau sepuluh paragraf yang biasanya selesai dalam sekejap, sungguh tak mudah.

Diskusi kecil kami tentang keyakinan. Membawa pada peryataan pilihan agama kedua. Suatu mengejutkan, sekaligus menteror.

“Mungkin saya akan memilih jadi Kristen. Agar tidak ribet,” katanya suatu sore.

Saya diam, ia sampaikan banyak alasan. Saya dengarkan saja, ia ceritakan referensi yang dibaca dan hasil obrolan dengan rekannya. Saya tidak bisa marah.

Baiklah, saya merasa ada yang salah dengan saya atau dengan pemahamannya soal keyakinan. Suatu label kepercayaan pada Tuhan yang telah menempel pada kami semua sejak dalam kandungan. Dan kami terima begitu saja ketika didaftarkan dalam kartu keluarga. Hingga tercetak dalam kartu tanda penduduk, kita cantumkan dalam mengisi formulir. Semuanya mengalis, sistematis.

Kembali Saya teringat akan perkataan Gus Islah Bahrawi “Kenali kemanusiaanmu sebelum mengenali agama-Mu…”. Perjalanan kami mulai, ia ingin melihat orang kebaktian.

Satu pagi kami menyelinap ke dalam Gereja. Ketika misa pagi usai, kami menyelinap masuk di pintu keluar bagian barat yang menghadap jalan raya.

Ia amati, deretan bangku jati panjang mengkilap. Ia lihat bagian cepat ada cekungan tempat menaruh kitab. Ada sebotol kosong air mineral yang lupa dibawa pulang pemiliknya. Ia coba duduk di bangku tengah. Menghadap ke timur. Pada altar berhias bunga dan tanda cross.

Lelaki setengah baya memandang kami. Tangannya menyilakan untuk pergi. “Jam misa telah usai. Ruangan akan kami bersihkan,” katanya sambil menunjuk arah pintu masuk. Sebab pintu keluar telah dikunci, oleh petugas. Suara derit pintu dan gemerincing anak kunci menggema dalam ruang beratap tinggi.

Baca Juga :  Pendapatan Parkir Kota Malang di Awal Tahun 2024 Melebihi Target

Puas ia mengamati. Kami pun pergi, sebelum diusir untuk kedua kali, sebab laki-laki itu mulai pasang muka masam. Jalan pagi kami lanjutkan menuju arah museum. Sepanjang jalan kami bicara ini-itu. Tentang rumah ibadah yang baru kami kunjungi.

Lain waktu, kami ke klenteng. Melihat dan bertanya ini-itu pada jama’ah yang kebetulan kami temui. Beberapa waktu ia diam. Dan Saya terus berdoa agar niatnya tak diwujudkan.

Setiap sore kami melintasi jalanan. Lari-lari kecil dan jalan kaki sejauh 8 ribu langkah. Tak jarang magrib kami masih dijalan. Saya ajak bocah itu mampir di mesjid, untuk magriban.

Setiap mendekati masjid, Saya berdoa agar tidak diusir oleh pengurus nya. Sebab bocah ini mengenakan celana pendek selutut. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Ia sholat, disambut baik oleh jama’ah. Meminjam mukena, diberi sangu air mineral.

Bersyukurnya saya. Saya khawatir kami akan diusir, atau dilarang masuk sebab tak memakai kostum muslimah (menutup aurat). “Enak masjidnya adem. Orangnya baik, padahal kita gak kenal,” ungkapnya.

Tak terhitung masjid yang kami masuki. Dari awalnya numpang sholat maghrib, sebab adem menunggu sampai isya. Sebelum kembali pulang.

Saya senang, hati berasa ringan melihat perubahan. Ia bersyukur menjadi muslim dan pernah sekolah di madrasah ibtidaiyah, Jl. Bandung yang cukup terkenal.

Dalam perjalanan kami, ada satu masjid yang menurutnya panas. Ia tak nyaman dan segera mengajak pergi setelah sholat tiga rakaat. Tak enak saya menyebut nama dan lokasi masjid tersebut.

“Sama saja nak. Yang membuat panas itu pandang orang sekitar, sebab mereka pakai syar’i semua. Hanya kita yang berbeda. Jangan khawatir raka’at sholatnya sama, “Hibur saya. Sekali pun saya tahu masjid itu terkenal untuk golongan tertentu. Bagaimana lagi, ia yang minta ke sana dengan alasan terdekat dan keburu jam magrib habis”.

Baca Juga :  Benarkah Agama Penyebab Perempuan Arab Pilih Ateis?

Begitulah perjalanan saya. Hilang dalam hiruk pikuk kepenulisan. Tak pernah hadir dalam rubrik Se-Kilas. Sekali pun saya salah, mestinya harus profesional antara pekerjaan kepenulisan dan urusan pribadi.

Namun, pendampingan ini menjadi prioritas. Untuk mengenalkan apa yang harus ia pilih. Sekarang dan nanti. Saya tidak bisa membayangkan, jika mencari kebenaran versinya sendiri atau bersama teman-temannya.

Mungkin, kalian pernah merasakan hal yang sama dengan saya. Atau dengan bocah ini. Jangan marah apalagi menghakimi. Mereka hanya butuh kawan untuk mencari jawaban. Mengenali kemanusiaan sebelum keyakinan, sekarang dan nanti, setelah mati. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.