Dari Serangan Fajar Sampai Dirty Vote

oleh -854 Dilihat

Foto: Tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Serangan yang dinanti adalah serangan fajar. Tidak pernah dibalas apalagi bikin sakit hati. Dan ini hanya terjadi lima tahun sekali, dalam sejarah Indonesia.

Pesta demokrasi, pemilihan presiden, DPD, DPR RI, DPRD Jatim dan DPRD kota/kabupaten. Mengusung nama baru dan nama lama yang berkecimpung di dunia politik. Semua ingin dikenal agar dipilih. Dari menyampaikan visi-misi, pemberian souvenir barang atau uang menjadi hal biasa.

“Jangan lupa fotokopi ka te pe, nanti uangnya saya beri,” begitu kata seorang perempuan ketika datang ke warung makan.

Pengumpulan ka te pe, untuk mendukung salah satu paslon pilpres. Setiap orang akan mendapat Rp 100 ribu. Dengan catatan harus nyoblos nomor urut yang ditentukan.

Bukan hanya uang, salah satu partai ada yang menawarkan voucher belanja juga. Untuk memilih perwakilan DPRD Kota. Bahkan ada yang nilainya Rp 150 ribu. Diangsur tiga kali. Sejak Januari sampai H-3 pencoblosan.

“Lumayan aku ikut dua orang. Dari partai berbeda. Jadi dapat dobel, suamiku juga. Siapa yang nawari terima saja,” kata Yati seorang pedagang.

Ia tidak peduli anggapan orang jika diketahui main di dua kubu berbeda. Baginya ini adalah rezeki, tidak boleh ditolak. Toh kalau sudah jadi para anggota legislatif sudah lupa dengannya.

Cerita lain datang dari Sukini. Pedagang botok asal Lumajang. Ia mengaku tidak peduli dengan bantuan politik baik berupa uang atau sembako. Baginya siapapun calonnya ia tetap memilih partai banteng.

“Aku ditawari uang, beras ga tak terima. Makan sehari gak sampai setengah kilo. Buat apa nunggu dikasih partai. Apalagi sudah Terima barang tapi tidak dipilih. Beban moral, hatiku tidak bisa menerima,” kata perempuan yang tinggal di tepi aliran sungai Brantas.

Baca Juga :  Si Centing, Inovasi Game Digital Pencegahan Stunting dari Disdikbud Kota Malang

Sebab itu, ketika tetangganya yang mewakili partai membagi sembako ia segera menghindar. Agar tidak ditawari. Ia dan suaminya lebih suka mendapat uang dengan bekerja apa adanya.

Lain lagi dengan Jingga, gen Z yang baru pertama kali mengikuti Pemilu, mengaku tidak mau menjual foto kopi ka te pe senilai Rp 100 ribu. Seperti yang ditawarkan partai biru.

“Tiga tahun itu, seribu lapan ratus hari. Kalau cuma seratus ribu. Sehari cuma dihargai lima puluh lima rupiah. Gak, harga diriku gak semurah itu,” katanya.

Ia sampaikan itu ketika ada tawaran uang dan voucher belanja, dari dua partai yang mengajaknya agar memilih salah satu calon presiden. Apalagi setelah menyaksikan film dokumenter Dirty Vote, yang diambil dari kumpulan artikel berita yang dijahit menjadi film utuh. Melalui paparan Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar.

Sebuah film yang menyajikan fakta berita dan sudah disaksikan jutaan warga net. Termasuk bocah yang baru pertama kali memilih, lantas menjadi bahan obrolan bersama, ibu, kakak, nenek dan kakeknya. Mungkin juga kawannya di sekolah atau dunia maya. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.