Oleh Eri Irawan.
Penggemar sepak bola.
Bisakah kita berharap Komisi Disiplin (Komdis) PSSI bertindak adil? Mungkin kata-kata Plato bagus untuk menjelaskannya: “The worst form of justice is pretended justice.” Bentuk terburuk dari keadilan adalah keadilan pura-pura.
Namun apakah keadilan itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keadilan sebagai perbuatan, perlakuan, dan sebagainya yang adil. Adil didefinisikan sebagai sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak.
Sesederhana itu sebenarnya. Tapi dalam sepak bola Indonesia, apa yang terlihat sederhana dalam terminologi, tak akan pernah sederhana dalam praktik, terutama dalam mengadili apa yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap “code of conduct” atau pedoman etik dan perilaku.
Tanggal 12 Februari 2025, suporter PPSM Magelang menyerbu lapangan saat pertandingan melawan Persibat Batang sedang berlangsung. Bahkan suporter memukul pemain Persibat.
PSSI Jawa Tengah menjatuhkan sanksi diskualifikasi dari kompetisi Liga 4 Jawa Tengah kepada PPSM plus sanksi denda Rp 45 juta dan sanksi laga usiran tanpa penonton sejauh minimal 75 kilometer dari kota Magelang, pada kompetisi resmi PSSI berikutnya.
Tanggal 13 Februari 2025, suporter Persipa menyerbu lapangan dan merusak papan reklame setelah kekalahan 1-2 dari Persipura dalam pertandingan Liga 2. PSSI mendenda Persipa Rp 25 juta.
Tanggal 18 Februari 2025, suporter Persela Lamongan menyalakan flare dalam jumlah besar, menyerbu lapangan, melemparkan batu dan botol mineral, dalam pertandingan melawan Persijap Japara di Liga 2. Sanksinya, Persela dilarang menyelenggarakan pertandingan dengan penonton selama satu musim pada kompetisi 2025/2026 dan didenda Rp 110 juta.
Yuran Fernandes, pemain PSM Makassar, melempar kritik ke PSSI melalui fitur story Instagram pribadinya. Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi 12 bulan beraktivitas dalam sepak bola Indonesia dan denda Rp 75 juta—meski kemudian didiskon menjadi tiga bulan dan denda Rp 25 juta setelah PSM melakukan banding.
Tanggal 11 Mei 2025, bus Persik Kediri dilempari batu saat keluar dari stadion Kanjuruhan Malang usai mengalahkan Arema 3-0 dalam pertandingan Liga 1. Ofisial Persik pun terluka akibat tindakan itu. Arema mendapat sanksi berupa larangan menyelenggarakan satu kali laga home tanpa penonton dan denda Rp 20 juta.
Sanksi atau hukuman memiliki fungsi mendisiplinkan dan meluruskan pelanggaran agar tak terjadi chaos dalam tatanan. Pemegang otoritas menjatuhkan sanksi dengan tujuan bukan saja membuat jera pelaku pelanggaran, namun juga memberikan peringatan kepada pihak lain untuk tidak bertindak sama.
Sanksi diatur berdasarkan pasal-pasal regulasi yang dibuat oleh pemegang otoritas dan dipatuhi semua pemangku kepentingan, yang dalam hal ini adalah klub-klub sepak bola peserta kompetisi.
Masalahnya: bagaimana Komisi Disiplin PSSI menakar kadar sebuah kesalahan untuk kemudian direpresentasikan dalam bentuk sanksi? Bagaimana “mematerialkan” sanksi sehingga bisa adil bagi semua pihak?
Perbedaan sanksi terhadap kesalahan-kesalahan yang nyaris sama oleh pihak yang berbeda seringkali terjadi selama bertahun-tahun dalam sepak bola Indonesia.
Tahun 2005, Persebaya memutuskan tidak memainkan pertandingan terakhir Babak 8 Besar Liga Indonesia melawan Persija di Jakarta—demi kepentingan yang lebih besar, yaitu keselamatan suporter. Persebaya semestinya harus dijatuhi sanksi berupa kekalahan dengan skor 0-3 dan pengurangan poin. Ini pernah dialami Persebaya pada 2002 saat mogok melawan Pupuk Kaltim.
Namun alih-alih menjatuhkan sanksi itu saja, PSSI menjatuhkan sanksi degradasi ke Divisi Satu untuk Persebaya.
Perbedaan sanksi terhadap kesalahan-kesalahan yang nyaris sama oleh pihak yang berbeda seringkali terjadi selama bertahun-tahun dalam sepak bola Indonesia. Cara dan bentuk hukuman PSSI terhadap klub dan pelaku sepak bola sering mengundang sinisme: jangan-jangan yang dipakai adalah pasal gregetan. Pasal mangkel. Pasal tidak suka terhadap salah satu pihak.
PSSI boleh mengatakan apa saja, tapi sinisme dan kecurigaan ini semakin menguat jika kita melihat perbedaan sanksi yang dialami para pelaku sepak bola Tanah Air.
Apalagi tentu publik memiliki catatan khusus terhadap peristiwa 1 Oktober 2022 di Malang yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia dan ratusan orang terluka. Peristiwa itu seharusnya menjadi bahan pertimbangan penting untuk menjatuhkan sanksi berat terkait kasus pelemparan bus Persik usai laga melawan Arema. Saat peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia dan salah satu yang paling tragis di dunia itu terjadi, Arema dihukum larangan menggelar laga di Malang—laga 11 Mei 2025 melawan Persik adalah laga pertama Arema di Kanjuruhan pasca-peristiwa 1 Oktober 2022.
Kekerasan yang dialami rombongan Persik Kediri seharusnya sudah cukup menunjukkan bahwa tidak ada pembelajaran dari peristiwa tragis tersebut. Maka tentu saja sudah seharusnya ada perbedaan sanksi berdasarkan derajat kesalahan dan keberulangan. Namun rupanya itu gagal dilihat oleh PSSI. Atau jangan-jangan kita melihat cerminan ucapan Plato di sini: the worst form of justice is pretended justice?
Perbedaan sanksi tanpa alasan jelas hanya akan menambah kemarahan publik sepak bola. Mereka tidak percaya terhadap (Komdis) PSSI, dan kecemburuan terhadap pihak-pihak yang dianggap lebih diistimewakan akan memunculkan permusuhan laten di tingkat akar rumput suporter.
Berulangnya kontroversi keputusan (Komdis) PSSI membuat sepak bola Indonesia tak ubahnya mitos Sisifus: dikutuk untuk melakukan perbuatan sia-sia. Selalu terporosok di lubang yang sama. Belum lagi ketika kita bicara kontroversi keputusan wasit pada beberapa laga. Juga sorotan terhadap konflik kepentingan karena peran ganda sejumlah elit sebagai petinggi PSSI, petinggi operator liga, dan pemilik/pengelola klub.
Satu lagi yang perlu diingat: kompetisi yang fair adalah modal utama melahirkan pemain tim nasional yang kompetitif. Tim nasional kita memang sedang terbang tinggi dengan sederet pemain naturalisasi. Namun itu bukan berarti PSSI melupakan pembenahan di liga domestik, termasuk dengan mewujudkan keadilan ketika terjadi masalah-masalah. Karena hanya dengan ekosistem kompetisi yang fair, akan lahir pemain-pemain hebat untuk tim nasional.
Jadi mari kita kembali pada pertanyaan awal: bisakah kita berharap PSSI bertindak adil? Mungkin ini akan menjadi pertanyaan retoris. Hal terbaik yang bisa kita lakukan mungkin adalah mengenang ucapan Paus Paul VI: “If you want peace, you must work for justice.”
Tanpa bekerja keras untuk keadilan, tiada kedamaian. (*)