Tentang Xana dan Kenangan yang Melebihi Sebuah Piala

oleh -943 Dilihat

Oleh Eri Irawan
Penggemar dan penulis sepak bola

Malam yang indah bagi Paris Saint Germain. Pertama kalinya dalam sejarah, klub asal Prancis itu berhasil merebut trofi juara Eropa antarklub paling bergengsi: Liga Champions. Sebuah penegasan posisi PSG sebagai klub terkuat di Eropa saat ini, sekaligus menepis anggapan bahwa mereka hanya perkasa di kompetisi domestik negara sendiri.

Luis Enrique, pelatih PSG, juga berhasil menyamai rekor Pep Guardiola, sesama pelatih Spanyol, dengan menjuarai Liga Champions bersama dua klub berbeda. Sebelumnya Enrique menjuarai Liga Champions pada 2015 bersama FC Barcelona seusai mengempaskan Juventus di laga puncak.

Namun ini bukan hanya soal partai final. Ini bukan cuma sepak bola. Ini adalah memori cinta dan kenangan seorang ayah terhadap anaknya yang meninggal dunia karena kanker tulang saat berusia sembilan tahun pada 2019.

Satu dasawarsa silam, Enrique merayakan keberhasilannya menjuarai Liga Champions bersama sang anak, Xana Martinez. Saat itu Xana yang masih berusia lima tahun mengibarkan bendera khas Catalan dan Barcelona di titik sentral lapangan sepak bola Stadion Olimpiade Berlin, Jerman. Dan Enrique, dengan kelembutan seorang ayah, mengambil bendera itu dan menancapkannya di titik putih yang menjadi titik sepak mula pertandingan.

Enam tahun setelah kematian Xana, Enrique kembali ke tanah Jerman. Kali ini di Munich, di Stadion Allianz, bersama sebuah klub yang juga memakai jersey warna biru tua berkombinasi merah, relatif senada dengan Barcelona. Lawan yang dihadapi juga berasal dari Italia. Kali ini bukan Juventus, melainkan Internazionale Milan, klub juga identik dengan jersey berkombinasi garis vertikal seperti Juventus.

Baca Juga :  Legenda Bernama Beckenbauer
Penulis, Eri Irawan

Ini tak ubahnya takdir yang tak bisa ditolak. Skenario Tuhan yang membuat sepak bola menjadi kisah indah nan dramatis. Mungkin serupa “divine intervention”, campur tangan ilahiah yang membuat sepak bola seperti megakarya puitis dan penuh misteri.

Namun malam itu tak ada Xana di Munich. Tidak ada gadis kecil yang mengibarkan bendera dan senyum merekah. Andai dia masih hidup, usianya sudah remaja. Dan mungkin dia akan menancapkan bendera di titik tengah bersama-sama ayahnya, sembari berbisik dalam bahasa Katalan, wilayah Barcelona: això és per a tu, Papa. Ini untukmu, Ayah.

Enrique tidak membutuhkan sebuah piala untuk menunjukkan cintanya kepada Xana. Dengan atau tanpa gelar juara Eropa, Xana akan selalu melekat dalam memorinya. “Saya selalu memikirkannya. Dia selalu bersama saya dan keluarga,” katanya.

“Kami akan sangat merindukanmu, mengingatmu setiap hari…di masa depan kita akan bertemu lagi. Kamu akan menjadi bintang yang membimbing keluarga kita,” kata Enrique ketika Xana berpulang.

Namun di tribun penonton, belasan ribu pendukung Paris Saint Germain menunjukkan bagaimana seharusnya memori cinta seorang ayah dihormati. Mereka merekonstruksi kenangan sepuluh tahun silam dalam sebuah spanduk raksasa bergambar Luis Enrique menancapkan bendera dengan disaksikan Xana. Kali ini bendera yang ditancapkan dan jersey yang dikenakan Xana adalah milik Paris Saint Germain.

Orang bilang sepak bola adalah olahraga terindah di dunia. Ini bukan hanya soal gol. Bukan cuma soal kemenangan. Bukan sekadar evolusi taktik permainan: dari catenaccio, total football, gegenpressing, hingga tiki-taka. Ini juga tentang cinta dan kisah-kisah epik tentang manusia, tentang seorang ayah dan kenangan tentang anaknya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.