Oleh Eri Irawan
Ketua Komisi C DPRD Surabaya
Matahari menyengat. Panasnya menyapu wajah Pak Dhohir. Tangannya coba diletakkan di atas dahi. Sedikit membantu untuk menolak terik. Dia berlari kecil mendekati seorang perempuan paruh baya yang tengah berusaha mengeluarkan sepeda motor dari tempat parkir sebuah toko swalayan.
Perempuan itu agak kerepotan membawa tas belanja berukuran medium. Mungkin berisi roti untuk buah hatinya, atau beberapa makanan ringan untuk konsumsi rapat PKK di kampungnya. Entahlah.
Pak Dhohir memberi aba-aba. Memudahkan sang perempuan tadi keluar dari area parkir. Motor itu lantas melaju mulus di jalanan.
Ini hari yang biasa bagi pria yang bekerja sebagai petugas parkir resmi di salah satu swalayan berjaringan di Surabaya. Saya menyapanya dan mengajaknya ngobrol santai.
”Sejak pagi lumayan ramai, Mas. Maaf saya sambi markir ya,” ujarnya, sambil kembali berlari kecil membantu seorang konsumen yang usai berbelanja.
Orang-orang seperti Pak Dhohir kini menjadi bahan percakapan setelah ramai penertiban izin tempat parkir swalayan oleh Pemkot Surabaya. Tapi yang seperti beliau baru sebagian kecil, karena ternyata lebih dari 95% swalayan di Surabaya tak punya izin parkir.
Publik memang geger, kemudian ”terbelah”, dengan upaya penertiban izin tempat parkir yang dilakukan Pemkot Surabaya. Ada pro. Ada kontra. Sesuatu yang wajar dalam dinamika kebijakan publik.
Apa yang sebenarnya terjadi? Saya mencoba membuat 5 poin sebagai panduan memahami masalah ini. Tapi sebelumnya, kita semua perlu memahami bahwa ada dua skema parkir yang diatur pemerintah, yaitu parkir tepi jalan umum/TJU (seperti parkir di tepi Jalan Embong Malang, misalnya) dan parkir di fasilitas lokasi usaha (seperti di toko swalayan, misalnya).
Kembali ke 5 poin tadi.
Pertama, keresahan publik adalah titik mulanya. Tata kelola parkir menjadi masalah. Bukan hanya di Surabaya, tapi se-Indonesia. Ya soal juru parkir (jukir) liarnya, soal lahannya (di tepi jalan dan di lokasi usaha seperti toko swalayan), soal tarifnya, dan sebagainya.
Untuk menjawab keresahan publik itu, tentu perlu strategi tepat sasaran. Mulai dari mana pembenahan akan dilakukan? Dan yang juga penting, apa landasan hukumnya? Jangan sampai obatnya keliru dalam mengurai masalah ini.
Kedua, berangkat dari keresahan publik itulah, dilakukan penegakan Perda 3/2018 tentang Penyelenggaraan Perparkiran. Di dalamnya mengatur soal kewajiban mengurus izin penyelenggaraan tempat parkir bagi orang/badan umum yang memiliki lahan/fasilitas parkir, termasuk toko swalayan.
Faktanya: hanya sekitar 30 dari 860-an (tak sampai 5%) toko swalayan di Surabaya yang memiliki izin tempat parkir. Dengan tidak ada izin tempat parkir resmi, maka tidak ada pula standardisasi pelayanan parkir. Apa itu standardisasi pelayanan parkir? Ada upaya menjaga keamanan, ada jukir resmi, ada layanan pengaduan (misal bila jukir resmi tidak ramah—tentu hal ini tetap dimungkinkan seperti layanan pemerintah yang kadang lambat meski sudah ada standar waktunya), ada tanggung jawab-tanggung jawab tertentu seperti soal kerusakan kendaraan, dan sebagainya.
Maka, dengan adanya jukir resmi sesuai Perda, tidak akan ada lagi jukir liar.
Ini sekaligus menjawab pertanyaan ’yang bermasalah jukir liar di minimarket, kok yang ditertibkan minimarketnya?’. Ini anggapan yang menyederhanakan persoalan, dan justru tidak menyelesaikan masalah. Oke, jukir liar kita berantas. Kita sepakat soal itu. Tapi bagaimana jika tidak ada jukir resminya?
Mari bayangkan. Seluruh lokasi di Surabaya tidak ada jukir liar, tapi juga tidak ada jukir resminya. Apa yang akan terjadi? Ketidakberaturan. Pencuri kendaraan mudah masuk. Lalu lintas keluar masuk lokasi usaha berpotensi kacau dan menimbulkan gangguan lalu lintas. Dan sebagainya.
Pertanyaan berikutnya: kenapa mayoritas swalayan belum mengurus izin parkir? Apakah karena tidak mau terikat aturan untuk menjaga keamanan kendaraan pengunjung? Apakah karena tidak mau menyediakan petugas parkir? Padahal, dengan memiliki izin parkir, justru kepastian berusaha akan lebih terjamin secara berkelanjutan. Tapi kita bersyukur, saya dengar kabar kemarin (12/6/2025), sudah ada 600 toko swalayan mengurus izin tempat parkir.
Ketiga, terkait pajak yang dibayarkan ke negara. Dari beberapa simulasi penghitungan, angkanya di kisaran Rp175.000-Rp250.000 per bulan. Jumlahnya bervariasi bergantung pada besaran toko swalayan, yang tentu berpengaruh pada jumlah kendaraan. Itulah angka yang disetor ke negara.
Dengan membayar Rp 175.000-Rp 250.000 per bulan ke pemerintah, tidak menghilangkan dukungan pelaku usaha untuk menyediakan petugas parkir resmi sesuai Perda untuk menghindari jukir liar dan memberikan keamanan bagi masyarakat dari curanmor.
Dengan ikut berkolaborasi dalam penataan parkir, maka ada jaminan kepastian berusaha bagi pengusaha. Dalam ilmu ekonomi, ada istilah ”eksternalitas”, dampak dari kegiatan ekonomi yang memengaruhi pihak lain yang sebenarnya tak terlibat langsung di usaha tersebut. Jika tidak berkolaborasi dalam menangani masalah jukir liar, maka bisa timbul adalah ”eksternalitas negatif” seperti potesi pelanggaran Perda, kerawanan karena pengaturan parkir di lokasi usahanya tidak teratur, dan sebagainya.
Keempat, mari lacak Perda. Apakah ada Perda sejenis di kota/kabupaten lain? Ada! Persis! Saya sudah membaca Perda Perparkiran di beberapa kabupaten/kota. Banyak kabupaten/kota lain di Tanah Air yang Perda-nya kurang-lebih serupa: harus ada izin tempat parkir dan penyediaan petugas parkir resmi. Tapi memang butuh keberanian untuk menegakkan Perda karena pasti ada tekanan. Misalnya ada petugas parkir resmi yang mengalami intimidasi dari oknum yang ingin mengelola parkir secara tidak resmi.
Kelima, jangan selesai sampai di sini. Kita dorong bersama agar penertiban izin tempat parkir ini tidak hanya berhenti pada toko swalayan. Penataan izin parkir di toko swalayan hanya titik mula.
Maka ke depan penataan harus menyasar semuanya. Termasuk di tepi jalan umum yang masih banyak jukir liar. Juga parkir di sekitar instansi pemerintah, seperti rumah sakit milik pemerintah.
Maka mari bersabar. Ini butuh waktu. Mungkin satu tahun hingga semua tuntas dan mendekati ideal. Perparkiran adalah salah satu masalah paling ruwet di Indonesia. Jika ini bisa diurai, tentu masalah lain yang tingkat ruwetnya lebih rendah pun semestinya bisa ditangani lebih baik.
Kita membayangkan penataan parkir di mayoritas wilayah Surabaya akan semakin baik. Masyarakat tak lagi resah karena ada ”Pak Dhohir-Pak Dhohir” yang lain. Dunia usaha pun terjaga keberlanjutan bisnisnya. Kita kawal dan awasi bersama-sama. (*)