Oleh: Eri Irawan
Penulis, tinggal di Surabaya
Malam itu Desra Percaya menggantikan suara Lionel Richie dan Diana Ross dalam lagu “Endless Love” dengan lengkingan saksofon yang nyaris sempurna. Napasnya yang panjang dan tak tersengal menunjukkan kebugaran tubuhnya. Ternyata Duta Besar Indonesia untuk Inggris itu memang paket lengkap untuk menggambarkan kebugaran: vegetarian dan pehobi sepeda. Dan saya jadi berpikir, sepertinya diplomat yang baik memang harus jago main saksofon.
Di tangan Desra Percaya, saksofon dan diplomasi adalah sebuah pertunjukan kecakapan dan keindahan. Setidaknya itu yang saya percaya saat kami bertemu pada suatu malam yang syahdu, awal Juni 2024.
Desra, alumnus Universitas Airlangga itu, punya rekam jejak yang panjang di dunia hubungan internasional. Bekerja di Kementerian Luar Negeri sejak 1986, Desra mulai menulis catatan kakinya sendiri dalam sejarah diplomasi republik ini dengan menjadi penasehat khusus dan terlibat dalam urusan rekonsiliasi perdamaian yang mengakhiri konflik Aceh pada 2002-2003.
Karier Desra semakin cemerlang setelah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2012. Sebuah tugas besar, karena duta besar tak hanya corong pemerintah Republik Indonesia, tapi juga representasi sebuah bangsa demokratis yang plural dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Dan memang Desra cukup lihai memainkan perannya sebagai seorang diplomat dalam urusan hak asasi manusia, perlucutan senjata, penculikan internasional, hingga permasalahan ekonomi pembangunan. Sejumlah isu sensitif berhasil ditanganinya, mulai dari isu suaka politik 43 warga Papua ke Australia hingga isu karikatur Nabi Muhammad di Denmark yang membuat marah mayoritas muslim di Indonesia.
Penghargaan bintang “Officier de l’Ordre de la Couronne” pada 2009 dari Pemerintah Belgia menunjukkan bagaimana Desra menangani diplomasi internasional seindah tiupan saksofonnya. Sebagaimana tiupan saksofon, sebuah diplomasi membutuhkan nafas panjang, seperti saat bernegosiasi menangani sengketa sebagaimana konflik pemerintah Thailand dengan kelompok separatis di Thailand Selatan di Istana Bogor pada 2008.

Perjumpaan malam itu meninggalkan kesan. Saya mendengar cerita bagaimana Desra, yang merupakan seorang fans Arsenal, memfasilitasi seorang diaspora Indonesia yang sedang merintis bisnis kuliner untuk terus berkembang. Desra menjembatani sang diaspora bertemu seorang angel investor asal Indonesia. Kini kita bisa menikmati beragam kuliner khas Indonesia dijajakan dengan baik, salah satunya di restoran “Toba” yang terletak di pusat London, tak jauh dari jantung keramaian Piccadilly dan Trafalgar Square. Desra pun aktif mengajak koleganya dari berbagai negara untuk mengunjungi bisnis-bisnis kuliner diaspora Indonesia di Inggris.
“Senang rasanya melihat kuliner Indonesia diminati dunia,” ujar Desra.
Desra mewakili keindonesiaan sesungguhnya, dan mungkin itu yang membuatnya bisa bertahan lama di dunia diplomasi internasional. Dia tahu bagaimana menghargai lawan bicaranya, sekaligus melemparkan argumen-argumen yang kokoh. Saya membayangkan, dalam sebuah percakapan empat mata dengan diplomat negara adikuasa, dia bisa berdiri sejajar dan berkata tanpa gentar tentang apa yang diinginkan Indonesia.
Dia tahu diplomasi harus dikelola dengan percakapan yang akrab namun tegas, dan memunculkan saling percaya. Trust adalah inti dari sebuah diplomasi. Dan nama Desra Percaya sepertinya memang mewakili takdirnya hari ini, yang berarti “Dewan Setia Kawan Rakyat Asia Afrika” yang dipercaya oleh kedua bangsa oleh Asia dan Afrika.
Toh pada dasarnya, semua orang tak ingin berkonflik dan lebih mudah mencari kesamaan dan persamaan sikap daripada bertengkar satu sama lain. Di tengah lengkingan “Endless Love”, saya bahagia Indonesia punya seorang Desra Percaya. (*)