Oleh Eri Irawan
Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya
Ini masa dua bulan yang mungkin membuat Tri Rismaharini sedikit menyesal. Dia harus melepas jabatan Menteri Sosial sebelum masa jabatannya selesai, untuk dicalonkan PDI Perjuangan menjadi Gubernur Jawa Timur.
Risma merasa bisa membantu banyak orang selama masa dua bulan itu jika masih tetap di Kementerian Sosial. “Selama dua bulan itu banyak sekali yang bisa aku kerjakan. Kalau dua bulan kampanye, ada berapa orang yang bisa saya bantu?” katanya.
Hati Risma galau, hingga datanglah seorang pendeta asal Papua. “Mama, sudahlah. Ini takdir Tuhan, Mama harus jalani,” katanya.
Ucapan sang pendeta menyadarkannya. Tuhan sering memberikan hal-hal tak terduga yang tak semestinya ditampik. Terkadang mengejutkan, sebagaimana saat mendadak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memanggilnya dan memintanya maju dalam kontestasi kepala daerah di Jatim. Dengan menjadi gubernur kelak, Risma bisa berbuat lebih konkrit dan lebih komprehensif untuk masyarakat Jawa Timur.
Saya menyimak podcast “Akbar Faisal Uncensored” yang mewawancarai Risma selama hampir 60 menit dengan perasaan campur aduk. Ada heroisme yang sunyi dalam diri Risma. Heroisme khas Jawa Timur yang sepi dari puja-puji.
Risma memang sangat menghormati Bu Mega. Selama ini, pertemuannya dengan Presiden ke-5 Indonesia itu seringkali tak berbicara soal politik. Bu Mega lebih banyak mengajak Risma bicara soal pekerjaan Risma di Kementerian Sosial dan banyak hal tentang kemiskinan serta kesusahan rakyat. Ini membuat Risma nyaman. “Yang saya lakukan hanya bekerja. Saya tidak mikir macem-macem,” katanya.
Hanya bekerja dan tidak over thinking. Itulah yang memang dibutuhkan rakyat Jawa Timur: seorang pemimpin yang bersih dan rela menyingsingkan lengan baju untuk bekerja tanpa syak wasangka. Pikirannya hanya ditujukan untuk hal-hal baik dan tindakan-tindakan yang bajik.
Saat Risma memutuskan untuk menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Gang Dolly, badai menerpanya. Protes dari mereka yang tidak setuju dengan berbagai alasan menjadi judul headline koran dan televisi yang dibaca dan ditontonnya setiap pagi. Kontroversi menjadi sarapan paginya.
Namun Risma jalan terus. Wajah seorang anak perempuan berusia belasan tahun yang kelelahan karena disuruh melayani hidung belang dan hilangnya kegembiraan anak-anak di kawasan lokalisasi membuatnya yakin untuk jalan terus. Hati Risma juga hancur saat mendengar seorang perempuan dengan usia tak lagi muda, ternyata memiliki pelanggan bocah-bocah remaja.
Risma babak belur dihajar pihak yang menentang penutupan Dolly. Namun dia berhasil membuka mata semua orang, bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini.
Hal itulah yang memang dibutuhkan rakyat Jawa Timur: seorang pemimpin yang tidak gentar menghadapi rintangan dalam menjalankan kebijakan publik. Seorang pemimpin yang ucapan dan tindakannya sejalan. “Semua saya ikhlaskan. Ngapain nggandoli ini, wong nyawa saya tak bisa nggandoli,” katanya.
Ikhlas. Itulah yang dibutuhkan rakyat Jawa Timur: seorang pemimpin yang ikhlas bekerja. Risma menampik transaksi politik dengan uang dan kuasa. Baginya keberanian untuk memimpin harus berbanding lurus dengan kerelaan untuk menolak kemewahan.
Dalam podcast “Akbar Faisal Uncensored”, sang tuan rumah iseng-iseng bertanya: apakah Risma tak ingin sesekali punya barang mewah dan bermerek sebagaimana perempuan pada umumnya. Risma tertawa, dan dengan polos mengatakan: ‘ya, sebenarnya ingin’. Namun dia tak mau mengorbankan keyakinannya untuk hal-hal duniawi.
Tentu saja Risma bukan malaikat. Dia tetap seorang manusia, seorang perempuan sederhana. Namun integritas bukanlah urusan malaikat atau manusia. Ini masalah kemanusiaan pula, sebagaimana kata penulis Amerika Serikat, Stephen Covey, “Moral authority comes from following universal and timeless principles like honesty, integrity, treating people with respect.”
Kita seperti melihat Risma dalam ucapan Covey itu. Inilah saatnya Jawa Timur memberikan kesempatan kepada Risma. Untuk Jawa Timur yang jauh lebih baik. (*)