Pesan Wage: Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Raganya untuk Indonesia Raya

oleh -1213 Dilihat

Foto: Kilas Jatim/Tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Ia bukan hanya dikenal sebagai pemusik, juga penulis dan wartawan. Garang dan tajam mengkritik pemerintah membuat hidupnya terancam, tapi cintanya pada tanah air dan jurnalistik tak pernah pudar.

Meski hidup sebagai wartawan tak menjanjikan. Seperti dalam dialog novel sejarah “Namaku Wage” karya Umar Nur Zain yang dicetak pada 1983 oleh penerbit Sinar Harapan. Pada halaman 107 dan 108, berikut petikannya…

“Tetapi kau bisa bermain musik lagi, daripada jadi wartawan,” ujar Moni.

“Aku belum memikirkannya. Musik masih untuk hobby.”

“Tetapi gesekan biola kamu memikat. Orang-orang akan merasa kagum atas kehebatanmu bermain biola. Aku ingat dulu. Bagaimana mulut-mulut ternganga ketika kau mainkan sebuah lagu indah klasik pada pesta nikahku. Ingat?”

“Ingat pasti.”

“Nah, aku punya kenalan banyak di Batavia. Bahkan Manager Societeit, sini aku kenal. Aku tinggal bilang saja. Besok malam kau sudah bisa main. Dan, setiap bulan kau bisa dapat uang banyak. Kau bisa beli rumah, mobil dan hidup enak.”

“Tapi aku lebih senang jadi wartawan,” jawab Wage.

“Apa yang diharapkan dari wartawan? Mau jadi pahlawan? Hidup wartawan selalu dalam kemiskinan. Satu kali kau boleh bangga dengan tulisanmu. Tetapi lain kali kau akan mati kelaparan.”

Wage terdiam. Hatinya beku. Ia kecewa pertemuannya dengan Moni.

Begitu obrolan antara Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Moni Van Acken atau Ny Willem, sahabatnya ketika tinggal di Makassar, saat bertemu di Gedung Societeit Harmoni Batavia, pada 1928.

Ketika itu, Wage bekerja sebagai wartawan koran Sin Po, tulisannya tentang perdagangan manusia dianggap mengganggu Belanda, hidupnya terancam dan selalu dimata-matai. Tetapi ia tetap teguh pada pendiriannya, menyuarakan kemanusiaan.

Baca Juga :  Musim Kemarau dan Permainan Tarik-Ulur Benang

Kini, kebebasan pers telah diperoleh. Masihkah pers yang dianggap tiang keempat demokrasi bisa diandalkan. Saat harga beras membumbung tinggi, diikuti kebutuhan pokok seperti gula, telur, cabe dan lainnya.

Tak lama lagi harga bahan bakar pun mengikuti. Sedang menutupi kenaikan harga, warga diberi bantuan sembako yang hanya cukup untuk makan sepuluh hari. Sisanya harus mencari kemana? Entahlah.

Sesungguhnya saya tak ingin dibodohi dengan bantuan pangan yang berujung jadi tai. Sebab saya manusia, bukan warga kebun binatang yang harus digemukkan.

Tiba-tiba saya teringat Wage, yang memperjuangkan kemanusiaan dan sangat mencintai negerinya. Sampai hari ini karyanya selalu berkumandang, Indonesia Raya. Yang mengajak rakyat untuk berjuang, bangun-jiwa raga untuk Indonesia. Selamat Hari Pers Nasional (HPN) ke-78, dirayakan pada 9 Februari dan gaungnya sampai hari ini. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.