Musim Kemarau dan Permainan Tarik-Ulur Benang

oleh -884 Dilihat

Foto: kilasjatim/tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Indonesia memiliki dua musim. Musim kemarau pada April-September dan, musim penghujan pada Oktober-Maret. Jika sekarang Juli, mestinya musim kemarau, tetapi gerimis masih datang setidaknya seminggu sekali, meski tidak deras.

Sebentar kemudian berganti panas dan berangin, lumayan kencang untuk menerbangkan jemuran dan layang-layang.

Sejak musim liburan kenaikan kelas kemarin, dikampung saya masuk musim layangan. Sebuah musim yang hilang selama pandemi dan bersemi kembali.

Aril, sebelah rumah setiap sore layangan di atap rumah. Main sambitan antar tetangga yang juga layangan di atap rumah masing-masing.

Tidak ada kemarahan saat layangan hilang, kalah adu tajam benang. Dari kejauhan mereka saling ledek dan terbahak bersama. Hingga azan magrib berkumandang. Tinggal lah Nda, singkatan dari Bunda yang berteriak kencang, agar permainan dihentikan. Sebelum malam menjelang.

“Iki tak belikan layangan dan benang. Habis seratus lima puluh ribu, kalau tiap harinya gak kehitung, berapa kali beli layangan. Tapi tidak apa, biar tidak hapean terus,” kata Irawan ayah Aril yang setiap mengajari anaknya cara bermain layangan.

Menurutnya permainan tarik ulur benang harus diajarkan pada anaknya. Sebab layangan bukan hanya permainan ketangkasan menaikkan layangan. Juga menguji kesabaran dan strategi cara mengalahkan lawan. Mengerti waktu, kapan harus mengulur dan kapan harus menarik benang. Mengenali arah angin dan cara mengendalikan. Sekalipun ini permainan, dibutuhkan ketrampilan dan kesabaran. Agar tidak grusa-grusu, membuat pilihan.

“Ini permainan, tidak masalah kalah. Yang penting dia mengerti cara mengendalikan, belajar dulu,” ucapnya.

Saya turut gembira mendengar ceritanya. Turut senang dengan teriakan sorak-sorai dari atap-atap rumah. Ya, ini sesuatu yang pernah ada dulu ketika saya berseragam putih-merah. Sekalipun saya perempuan dan selalu kalah main layangan, tetap saja senang.

Baca Juga :  Hujan Pertama dan Pesan Semesta

Langit jingga makin menguasai angkasa. Suara azan sayup-sayup mulai menghilang. Persatu layangan diturunkan. Bersama datangnya malam.

Berganti layangan sawangan, dengan lampu merah-biru berpendar di udara, tampar kecil pengganti benang, mengudara di area pemakaman tak jauh dari rumah, sepanjang malam. Diikatkan pada batang dahan. Ini tradisi tahunan. Tanda kemarau datang, disambut dengan senang. Tetap belajar dan selalu belajar, pada musim dan alam. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.