Kemungkinan dari Sebuah Kebun Raya Mangrove

oleh -728 Dilihat

Oleh: M. Eri Irawan,
Ketua Bidang Kaderisasi dan Ideologi
DPC Banteng Muda Indonesia (BMI) Surabaya

KILASJATIM.COM, Surabaya – Dari sebuah Kebun Raya Mangrove di Surabaya, kita belajar tentang bagaimana sebuah kota seharusnya tak hanya dikotori asap dan polusi. Kota ini membutuhkan paru-paru raksasa untuk membuat warganya tetap bisa bernapas lega, bahkan pada saat hari-hari yang padat dan sibuk. Hidup hari ini harus diabdikan untuk hidup yang berkelanjutan.

Sejak era kepemimpinan Wali Kota Bambang DH, Tri Rismaharini, Whisnu Sakti Buana, hingga kini Eri Cahyadi-Armuji, kota ini senantiasa menjalankan kebijakan yang memihak pada keberlanjutan lingkungan. Surabaya telah mengembangkan tiga hutan mangrove dengan luas keseluruhan 27 hektare yang kemudian kini diresmikan menjadi Kebun Raya Mangrove pertama di Indonesia, oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Republik Indonesia yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI).

Kebun Raya ini memiliki 57 jenis mangrove dan akan terus bertambah. Tak hanya memiliki fungsi konservasi, kebun raya ini menggerakkan tugas edukasi, ekowisata, penelitian, dan ekonomi. Aspek ekonomi ini sekaligus menunjukkan bahwa konservasi alam sejatinya selaras dengan ikhtiar manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

Bung Karno bahkan menunjukkan, bahwa kehidupan dan gagasan politiknya tentang negara-bangsa (nation-state) lahir dari kedekatan dengan alam. “Bung Besar” ini pernah mengungkapkan keinginannya untuk menutup usia dengan ‘bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus’.

Perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun bercabang lima yang menghadap Teluk Sawu, Ende, Nusa Tenggara Timur, membawanya pada Pancasila. Kelak warga setempat menyebut pohon itu “Pohon Pancasila”.

Sementara itu bibit-bibit pohon mimba yang dibawa Bung Karno dan ditanam di Padang Arafah, Arab Saudi, pada medio 1955-an, telah tumbuh besar nan rindang. Juga di beberapa kawasan lain di tanah Arab Saudi. Menebar kesejukan bagi jemaah yang sedang beribadah. Masyarakat Arab menyebutnya sebagai “Pohon Soekarno”, “Syajarah Soekarno”. Pohon-pohon itu tak hanya menandai sebuah persahabatan antar dua bangsa, tapi juga menyampaikan pesan bahwa politik universal senantiasa berbicara tentang alam dan kemanusiaan.

Baca Juga :  Pagi-Pagi Senam Bareng, Caleg PDIP Eri Irawan dan Ibu-Ibu Semangat Menangkan Ganjar

Like father, like daughter. Apa yang dilakukan Bung Karno ternyata juga dilakukan Megawati Soekarnoputri. Dedikasi Ibu Megawati ihwal lingkungan tak diragukan. Bahkan Bu Mega menerbitkan buku memoar yang pada akhirnya menjadi semacam manifesto politik lingkungan bagi kader-kader PDI Perjuangan: “Merawat Pertiwi, Jalan Megawati Soekarnoputri Melestarikan Alam”.

Buku ini menjadi panduan seluruh kader PDI Perjuangan dalam membangun kultur partai merawat sungai, membersihkan lingkungan, dan menanam tanaman. “Berpolitik itu merawat kehidupan, membangun peradaban. Dengan lingkungan hidup yang indah, asri, dan bersih, akan menciptakan rasa syukur. Ruang sosial menjadi nyaman. Karena itulah menanam tanaman bersifat wajib sebagai kesadaran berorganisasi partai,” kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Kehadiran Bu Mega di Surabaya untuk meresmikan Kebun Raya Mangrove mempertegas jalan hidupnya demi merawat pertiwi dan mencintai bumi. Bu Mega mendirikan Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI) didirikan pada 21 April 2001, sebuah momen spesial berbarengan dengan Hari Kartini. Atensi Bu Mega berdampak pada progresivitas pengembangan kebun raya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang kini diperkuat dengan keberadaan BRIN, mencatat lonjakan jumlah kebun raya lantaran perhatian Megawati. Dari semula hanya berkisar 4 kebun raya pada 2001, kini Republik memiliki lebih dari 45 kebun raya di berbagai daerah, dengan beragam coraknya. Ini sungguh kontribusi luar biasa guna menjaga keberlanjutan lingkungan di tengah derap kemajuan ekonomi bangsa.

Satu hal yang sangat menarik adalah Bu Mega tidak selalu menaruh perhatian soal lingkungan hanya dengan hal-hal besar saja, namun justru mengawalinya dengan ihwal yang seringkali dianggap remeh, seperti membungkus biji salak dalam tisu dan memasukkanya ke dalam saku, atau menanam umbi-umbian dari seluruh penjuru Indonesia. Dia menepis kisah-kisah seram hantu di rerimbunan bambu dengan menanamnya untuk merawat mata air.

Baca Juga :  Pelajar Menur Pumpungan Pentas Seni, Bernyanyi sampai Drama Berbahasa Inggris

Kisah yang selalu saya ingat adalah cerita Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Pada suatu ketika, selesai memakan buah salak, Mas Hasto membuang bijinya. Oleh Bu Mega, biji itu lalu diambil dan dibungkus sebuah tisu. “Ibu Megawati memasukkannya ke dalam tas beliau. Lalu berkata kepada saya, jangan buang biji salaknya karena dia punya hak hidup,” cerita Sekjen Hasto.

Perhatian Bu Mega ini kemudian menjadi semacam virus kebaikan. Kader-kader PDI Perjuangan senantiasa rutin merawat sungai, menjaga mata air, hingga menanam pohon. Tiap tahun, ulang tahun partai tidak dirayakan dengan seremonial belaka, tapi dengan aksi serempak seluruh Indonesia untuk menjaga lingkungan. Bayangkan, dari Sabang sampai Merauke, para kader PDI Perjuangan merawat sungai hingga menanam pohon. Bu Mega satu-satunya tokoh yang punya kesadaran lingkungan yang kemudian menumbuhkan daya partisipasi dari bawah yang sangat luar biasa.

Apa yang dilakukan Soekarno dan Megawati menghidupkan legacy penting berupa gagasan mengenai kesinambungan politik untuk merawat lingkungan hidup.

Seusai menyimak sambutan Bu Mega melalui Youtube hari ini, saya kemudian jadi tahu, ada begitu banyak kemungkinan yang bisa muncul dari sebuah kebun raya di kota metropolitan seperti Surabaya. Kemungkinan tentang hadirnya gagasan dan harapan yang lahir dari keterpukauan anak-anak yang datang bersama guru dan orang tua mereka ke kebun ini. Kemungkinan tentang kesinambungan niat baik, karena politik tak hanya berarti kekuasaan, namun bagaimana merawat hidup dan kehidupan, merawat bumi pertiwi tercinta.

Kita tahu, keberlanjutan lingkungan membutuhkan kesinambungan generasi. Republik ini akan ada hingga bertahun-tahun ke depan, dan pada setiap masa itu, diperlukan generasi yang bisa menjaga keberlanjutan lingkungan.

Terima kasih, Ibu. Saya jadi semakin tahu, hidup hari ini harus didedikasikan untuk hidup yang berkelanjutan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.