Hikayat Everton

oleh -673 Dilihat

Oleh M. Eri Irawan
Penggemar Sepak Bola

Heroisme dan kejayaan di lapangan hijau tak selamanya berurusan dengan klub-klub besar, kaya raya, dan terkenal. Juga tak selamanya berkaitan dengan trofi atau piala. Kadang heroisme dan kejayaan itu lebih banyak soal kemauan dan keuletan untuk bertahan dari kesulitan. Seperti Everton.

Everton Football Club adalah sebuah klub dari kota Liverpool, Inggris, yang didirikan pada 1878 oleh jemaat gereja St. Domingo. Sepanjang keikutsertaan dalam Liga Inggris, klub berjuluk Toffees ini telah sembilan kali menjadi juara dan lima kali menjuarai Piala FA. Namun semua kejayaan itu mandeg pada 1995 saat menjadi juara Piala FA. Itulah saat terakhir Everton menjadi juara di semua kompetisi domestik Inggris.

Berpuluh-puluh tahun kemudian Everton hanya disebut sebagai klub medioker atau pelengkap penderita saja dalam kompetisi Liga Inggris yang disebut Premier League. Bahkan dua musim berturut-turut, yakni 2021-2022 dan 2022-2023, saat klub tetangga sekota Liverpool merayakan trofi Piala FA, Piala Liga, dan Charity Shield dengan meriah, para fans Everton justru berpesta karena sukses menghindari degradasi ke level kedua Liga Inggris (Championship League).

Musim 2023-2024, nasib Everton kembali terancam. Sanksi pengurangan 10 poin dari Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) membuat anak-anak asuhan Sean Dyche ini terperosok ke peringkat 17 atau setingkat di atas zona degradasi. Andai saja tak ada sanksi pemangkasan 10 angka, Everton duduk di peringkat 12 pada pekan ke-25 Liga Inggris.

Dan di sinilah hikayat itu tercipta. “Success is not measured by what you accomplish, but by the opposition you have encountered, and the courage with which you have maintained the struggle against overwhelming odds,” kata Orison Swett Marden, seorang penulis Amerika Serikat.

Baca Juga :  Untuk Kasim Botan: Gol Bunuh Diri Tak Membunuh Masa Depan

Marden mengingatkan, sukses tak selamanya ditentukan oleh apa yang kita capai, tapi justru oleh rintangan yang terbentang di depan kita, dan keberanian kita untuk tetap berjuang melewatinya. Seperti lirik lagu “Petualang” yang ditulis WS Rendra dan dinyanyikan Iwan Fals:

Petualang jatuh terkapar
Namun semangatnya masih berkobar

Mungkin ini krisis terbesar yang pernah dihadapi Everton. Sebelumnya pada era 1990-an, mereka juga pernah berada di tepi jurang. Namun tidak pernah semengkhawatirkan ini bagi para pendukung mereka. Pengurangan 10 angka oleh federasi membuat mereka harus bekerja ekstra keras.

Namun problem ini memunculkan kembali sesuatu yang telah lama hilang di Goodison Park, stadion kandang Everton: kebersamaan dan solidaritas. Manajemen Everton menggunakan hukuman ini untuk menggalang rasa senasib sepenanggungan. Mereka yang memandang sepak bola hanya permainan belaka, mungkin tertawa: mengapa seserius ini. Namun bagi kelas pekerja di Inggris, klub sepak bola adalah bagian dari identitas dan cara mereka mendefinisikan hidup.

Maka saat Sean Dyche menyerukan kepada suporter, bahwa “Yang bisa kami minta hanyalah dukungan dan dukungan mereka di dalam stadion, dan yang bisa kami minta hanyalah agar hal itu terus berlanjut” tak butuh waktu lama untuk muncul respons dari para suporter.

Bukannya sepi karena Everton terpuruk, Goodison Park justru ramai. Kali ini para suporter membawa spanduk yang menghujat penyelenggara Liga Primer Inggris. Spanduk-spanduk ini dengan mudah tersorot televisi, dan menjadi kampanye perlawanan. Bahkan ada seorang fans yang menyewa pesawat untuk menerbangkan banner bertuliskan ‘Premier League = Corrupt’ saat pertandingan Manchester City melawan Liverpool.

“Nil satis nisi optimum”. Hanya menjadi yang terbaik yang layak disebut cukup baik. Slogan ini menjadi representasi filosofi, tak hanya sebuah klub sepak bola, tapi juga komunitas masyarakat yang mendukungnya. Mungkin dalam hidup tak semuanya bisa dicapai. Namun di ujung ikhtiar selalu ada doa dan harapan. Itulah yang tengah ditunjukkan oleh Everton. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.