Penulis – Hadi Prasetya, pengamat sosial politik
Disclaimer: Tulisan ini merupakan analisis untuk bisa memahami makna kehidupan yang makin digempur habis oleh narasi politik dari segala penjuru.
Proloog
Ditengah penderitaan rakyat yang mengalami kemiskinan kronis, banyak yang tamatan sekolah dasar, diterpa PHK beruntun, bahkan jutaan golongan menengah yang turun kelas, justru kita disuguhi fakta korupsi yang “woow banget”, disela-sela berita persaingan kekuasaan politik saling sandera (secara telanjang bulat).
Kekuasaan politik yang penuh noda koruptif bisa saja sah menurut konstitusi, tetapi belum tentu punya sufficient legitimacy (pengakuan tulus terhadap apa yang dipilihnya) berdasarkan ‘honest vote’ faktual dari masyarakat, karena intervensi money politic dan abuse of power dalam proses demokrasi.
Itulah ironi kehidupan suatu negara yang sistem demokrasinya masih permukaan dan baru jadi sekedar label gengsi; tempat si-culas, si-congkak dan si-rakus, berwajah lugu sebagai topeng seringai kemunafikan, dan terus mengibarkan bendera kemenangan dan kejayaan atas nama dalil konstitusional dan supremasi hukum, didukung komplotannya sebagai oknum yang ditugaskan mempunyai otoritas hukum, tanpa kenal conflict of interest.Supremasi hukum yang penuh toleransi dan keberpihakan.
Seberapa Kuat Bertahan?
Tapi memangnya seberapa kuatkah sebuah kekuasaan (munafiqun) bisa bertahan dan immortal (abadi) seperti vampir? Tidak ada satu ajaran agama manapun yang mengijinkan kekuasaan munafik apalagi untuk menutupi keculasan, kecongkakan dan kerakusan. Bahwa Sang Khalik pada saatnya akan “menggebuk habis” orang-orang dengan model seperti itu; adalah suatu keniscayaan.
Lalu dari mana datangnya ambisi, sifat dan sikap itu? Dalam tradisi mereka yang percaya per-dukunan, tentu ada drama metafisik jahat, dari gunung-gunung, lembah-lembah dan hutan rimba, yang dijadikan andalan oknum-oknum kekuasaan untuk berusaha punya kekuasaan immortal secara dinasti turun temurun. Misal kalau ada orang memakai mahkota raja (tapi bukan raja) dalam proses politik, bisa jadi itu ritual mistik. Silahkan saja disangkal bahwa itu penghormatan budaya, tapi tradisi kemitraan oknum pejabat dan dukun (atau orang pinter kata orang Jawa) sudah berlangsung berabad-abad. Masak harus ikut narasi sok blo’on: “Silahkan buktikan secara hukum!
Tulisan ini tidak akan mendalami soal metafisiknya, tetapi mencoba untuk mengurai anatomi kekuasaan pemerintahan yang dirasakan masyarakat kok semakin tidak amanah
Kekuasaan pemerintahan tidak lekang dari eksistensi oligarkhi yang telah menjadi bagian (built-in) dari sistem pemerintahan di berbagai negara sejak zaman kuno. Dalam sejarah, oligarkhi pertama kali muncul di Athena pada abad ke-5 SM. Sistem ini kemudian berkembang dan bertransformasi seiring waktu, dengan berbagai bentuk dan manifestasi.
Dalam konteks modern, oligarkhi mulai menjadi trend pemerintahan di dunia pada akhir abad ke-20, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin. Pada masa itu, banyak negara yang beralih dari sistem sosialis atau komunis ke sistem kapitalis dan demokrasi, yang membuka peluang bagi kelompok-kelompok elit untuk mengambil alih kekuasaan dan menguasai sumber daya ekonomi.
Untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan dalam negara dengan label demokratis, konsekuensinya mereka harus membangun konspirasi (tentu melalui koalisi-aliansi) – kita sebut saja “komplotan”-, dan punya kompetensi kemunafikan yang memadai dari para penguasanya ketika menghadapi tuntutan demokrasi rakyat. Komplotan ini harus bisa saling ‘memuaskan’ tiga pihak (tiga tuan): rakyat, oligarkhi dan diri sendiri.
Karakter sistem kekuasaan yang sah tapi kurang legitimate, disertai hegemoni bisnis oligarkhi dan kewajiban meng-update kemunafikan sesuai dengan naik-turunnya mood rakyat, pada gilirannya akan membuka peluang ancaman pengkhianatan terus menerus karena komplotan berisi individu-individu yang bukannya tanpa ambisi dan kerakusan. Maka ujung dari pada karakter kekuasaan yang demikian adalah kejatuhan dan kehancuran. Tentang itulah artikel ini diberi judul “From Power to Dust” (Dari Kekuatan Menjadi Debu).
Menuju Debu
Betapapun besar kekuatan kekuasaan serta pengaruhnya, niscaya berakhir dengan tidak terelakkan, itu keyakinan para filsuf kuno maupun modern. Aristoteles dalam karyanya “Politik” tentang konsep “Tyrannis”; Plato dalam karyanya “Republik” tentang konsep keadilan; Konfusius dalam karyanya “Lunyu” tentang konsep “Ren” (kebaikan); Friedrich Nietzsche dalam karyanya “Jenseits von Gut und Böse”, juga Jean-Paul Sartre dalam karyanya “L’Être et le Néant, kesemuanya menasihati, dan memberi peringatan keras bahwa kekuasaan yang sah tetapi kurang legitimate, serta munafik karena mengabdi kepada “tiga tuan”, akan berakhir dengan kehancuran bahkan kehinaan, apapun skenarionya, baik secara politis, ekonomis, atau sosial.
Kekuasaan yang sah tetapi tidak legitimate dan menjadi instrumen oligarkhi akan melukai hati rakyat karena merasa tidak ada keadilan dan dalam jangka waktu tertentu akan memicu kemarahan rakyat, didukung secara brutal para korban secara kolektif dalam suatu balas dendam nan kejam.
Nostradamus seorang peramal dunia, manyatakan: “Akan ada banyak pembelajaran yang hilang sebelum siklus purnama bulan selesai. Api dan banjir akan ditimbulkan oleh penguasa-penguasa yang bodoh; banyak waktu akan berlalu sebelum bisa diperbaiki”.
Tentang kejatuhan dan kehancuran rezim manipulatif, Benyamin Franklin menegaskan: “Jatuh dari ketinggian berarti jatuh dari ketinggian berapa pun (dan sewaktu-waktu)”
Hebatnya Kekuatan Rakyat
Dalam banyak sistem demokrasi, terutama yang masih berkembang, sering terjadi upaya elit politik atau oligarki untuk mempertahankan kekuasaan dilakukan melalui manipulasi, seperti kontrol media, pemilu yang tidak adil, atau korupsi. Ini adalah fenomena yang dapat diamati dalam berbagai konteks sejarah dan kontemporer.
Rakyat, terutama ketika merasa tertindas atau tidak terwakili, akan bangkit menjadi kekuatan pendorong perubahan (revolusi). Ini adalah elemen logis yang sering terjadi dalam sejarah.
Dalam sistem politik yang kompleks, persaingan antara kelompok elit atau oligarki sering terjadi dalam komplotan yang sedang berkuasa, atau perang dingin dengan komplotan lain yang dirugikan; bahkan ada tekanan masa (rakyat) yang memprotes ketidak adilan . Persaingan ini bisa disebabkan oleh perbedaan kepentingan, perubahan geopolitik, atau perkembangan zaman. Persaingan ini dapat melemahkan kekuasaan manipulatif yang ada, karena kelompok yang berkuasa harus terus beradaptasi atau digantikan oleh kelompok lain.
Kekuasaan yang didasarkan pada manipulasi cenderung tidak stabil dalam jangka menengah atau panjang karena ketergantungannya pada kontrol yang ketat dan seringkali represif. Ketika kontrol ini melemah, kekuasaan tersebut bisa runtuh.
Beberapa fakta sejarah bisa dilihat dari Revolusi Prancis (1789): Monarki absolut Prancis yang korup dan manipulatif akhirnya digulingkan oleh kekuatan rakyat yang merasa tertindas. Persaingan antara berbagai faksi elit juga memainkan peran penting dalam dinamika revolusi tersebut.
Jatuhnya Uni Soviet (1991): Uni Soviet, yang merupakan negara dengan sistem otoriter, akhirnya runtuh karena kombinasi tekanan internal (ketidakpuasan rakyat) dan persaingan geopolitik dengan kekuatan global lainnya, terutama Amerika Serikat.
Arab Spring (2010-2012): Di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara, rezim otoriter yang korup dan manipulatif digulingkan oleh gerakan rakyat. Persaingan antara kelompok elit dan perubahan geopolitik juga memainkan peran penting dalam dinamika ini.
Fakta sejarah yang lain adalah Transisi Demokrasi di Indonesia (1998): Jatuhnya rezim Orde Baru di Indonesia adalah contoh lain di mana kekuasaan manipulatif yang korup dan otoriter akhirnya runtuh karena tekanan rakyat dan persaingan di antara elit politik. Kejatuhan Orde Baru dalam reformasi tentu berbeda dengan zaman peralihan Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Pada waktu itu yang menjadi musuh bersama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga tema revolusi 1965 adalah revolusi politik, sedangkan reformasi 1998 ber tema korupsi dan otoriter.
Menurut definisi, revolusi adalah perubahan sosial dan politik yang radikal dan mendadak, seringkalai melibatkan kekerasan perlawanan terhadap pemerintahan yang ada, Ada perubahan sistem sosial-politik yang ada dengan yang baru. Sedangkan reformasi adalah perubahan sosial-politik yang bertujuan memperbaiki sistem yang ada. Apapun istilahnya, kekuasaan politik yang manipulatif dan korup pasti hancur menjadi debu.
Peluang Reformasi
Mencermati kondisi Indonesia saat ini, yang penuh gempuran berita korupsi ber trilyun-trilyun, dan diduga melibatkan oknum-oknum penguasa; nampaknya sulit untuk diberantas , karena jaringan korupsi sudah menyebar kemana-mana bahkan sampai ke level pemerintahan bawah.
Hari ini ada dugaan yang dilansir @QNPOpposite tentang mata rantai nepotisme keluarga penguasa. Entah benar atau tidak benar; tetapi yang jelas model nepotisme keluarga oknum penguasa adalah fakta logis. Dan ini tidak cluster nepotisme tunggal, tetapi terkait dengan cluster-cluster nepotisme oknum penguasa lain secara berkelindan, membentuk jejaring nepotisme yang substansinya kolusi dan tentu korupsi besar-besaran.
Sistem kekuasaan yang demikian itu, dibarengi drama munafiqun untuk mengelabui supremasi hukum, etika dan sistem penyenderaan politik kekuasaan, bisa jadi didasari konsep “ji ti ji beh” (mati siji mati kabeh atau dalam bahasa Indonesia mati satu mati semua, jatuh satu jatuh semua; hancur satu hancur semua). Woow….seperti sistem penghancuran senjata nuklir, bahkan rakyatpun akan jadi korban masal. Siapa berani memicu perang nuklir? Ini yang disebut “The Devil’s Choice”. Maka dibalik semua drama munafiqun ini, makin banyak saja para dukun yang membakar kemenyan, karena termasuk “ji ti ji beh”.
Kita semua yang rakyat biasa, masih punya harapan terhadap lembaga -lembaga terhormat seperti TNI, POLRI, Kejaksaan Agung, Kehakiman, DPR dan KPK; “karena dalil telor satu petarangan tentu tidak busuk semua”. Lembaganya harus menjaga martabat, dan oknum yang busuk harus dibuang.
Epiloog
Revolusi 1965 di warnai dengan pembantaian PKI. Reformasi 1998 diwarnai kejatuhan pak Harto dengan rezim Orba. Dijaman Gus Dur Presiden (1998-1999) diwarnai peristiwa pembantaian dukun santet di beberapa daerah terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah (komentar teman: “tahu gitu mau nitip dukun-dukun rezim korup saat ini”). DI jaman sekarang ini, mungkinkah para oknum koruptor trilyunan juga di “bantai” sebagai tumbal reformasi jilid 2?
Tapi kan sulit karena sistemnya sudah di desain “ji ti ji beh”? Lalu pikiran dan ingatan melayang ketika baca di media (entah benar entah hoax) pak Presiden Prabowo menyatakan: “koruptor diampuni asal mengembalikan uang ke negara”. Sebagai solusi moderat? Hey jangan spekulatif dong! Okelah… tetapi wuiih… memang bener-bener udah gelap Indonesia ini.
Kalau oknum busuk harus dibuang, lalu dibuang oleh siapa? Siapa yang berani? Mungkinkah oleh rakyat dan mahasiswa?. Tetapi yang jelas sejarah telah membuktikan bahwa pada saatnya Sang Khalik yang Maha Adil akan turun tangan dengan azab. Semoga Indonesia lekas terang dan rakyat tertawa riang sambil makan nasi tumpeng sambil korban 7 ekor sapi untuk selamatan.
Wallahualam