Pramoedya Ananta Toer Menembus Ruang dan Waktu

oleh -1302 Dilihat

KILASJATIM.COM, Malang – Hari ini tepat seratus tahun perayaan kelahiran Pramoedya Ananta Toer, 6 Februari 1925 – 6 Februari 2025. Kepergiannya pada keabadian tidak membuatnya bungkam. Melalui karya, Pram tetap garang berteriak kemanusiaan. Dan orang-orang masih membaca bukunya sekalipun sebagian besar karyanya telah hilang atau sengaja dihilangkan penguasa.

Akhir pekan lalu, komunitas Sabtu Membaca, merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer dan menjadi bagian Tur Toer Tualang 15 Kota Jawa Timur. Menghadirkan Soesilo Toer, adik kandung Pram yang berusia 88 tahun.

Usia telah melahap fisik laki-laki kelahiran 17 Februari 1937, badannya tak lagi bisa berjalan tegak. Orang sekitar membantu menuntunnya menjaga tidak terjungkal. Namun suaranya tetap menggelegar. Ingatannya masih segar menyampaikan ketidak adilan rezim atas bangsa dan keluarganya.

Ya, Pram menyuarakan ketidak adilan dan kemanusiaan melalui tulisan. Itulah yang membuatnya diasingkan dan mendekam dari penjara ke penjara, hingga berakhir di Pulau Buru bersama tapol lainnya.

“Selama bersama buku saya merasa bebas, tidak dipenjara,” begitu kata Pram yang ditirukan Pak Soes (panggilan Soesilo Toer) dalam acara yang dihadiri ratusan pecinta Pram di Local Cafe, Merjosari, Minggu (2/2/2024) lalu.

Lulusan doktor di universitas Uni Soviet juga menyampaikan jika kakaknya seorang penulis sejarah yang baik. Mempertemukan fakta dan fiksi dalam sebuah karya. Ini sangat menarik, sebagian pembaca akan bosan membaca fakta yang kaku, atau membaca fiksi yang tidak berdasarkan kenyataan.

Dengan menggabungkan fakta dan fiksi, karya Pram mampu menembus ruang dan waktu. Menarik setiap generasi untuk terus membaca dan membangun kesadaran akan ketidak adilan. Seperti novel teralogi Bumi Manusia yang telah diangkat ke layar lebar.

Baca Juga :  Harga Beras di Surabaya Stabil, PD Pasar Surya: Pasokan dan Demand Cukup

“Prinsip Pram memperjuangkan kebebasan, belum menjadi kalau belum tahu hakikat dirinya sendiri. Hidup itu harus bermanfaat,” katanya.

Dibalik ketegasan kakak nya. Bapak satu anak mengisahkan. Jika abangnya sosok yang keras tapi cengeng. Ia mengisahkan kejadian saat ditempeleng Pram.

“Umur saya sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Saya naik sepeda, ketemu Kholili anak tetangga yang jatuh. Saya tolong dia. Tapi saya difitnah, katanya saya menabraknya. Pram marah ditempeleng lah saya dihadapan orang tua Kholili. Malamnya saya diajak naik becak, bertiga sama istrinya. Nonton bioskop dan makan nasi Padang. Saya pangku, ia memeluk saya sambil nangis. Begitulah cara Pram minta maaf. Dengan memberikan yang terbaik,” ceritanya.

Ditengah keterbatasan nya dalam bergerak. Kadang ia masih memulung, meski tidak seperti dulu. Yang pasti setiap hari masih menulis dan membaca beberapa lembar buku dan surat kabar untuk mengikuti perkembangan negeri yang ia cintai.

Ayah dari Bene Santoso sempat berkelakar dalam pilpres lalu.

“Pilih saya jadi presiden. Kalau jadi presiden saya bubarkan negara. Membangun negara bukan dari partai politik. Bangun Indonesia dengan kearifan lokal negeri ini,” begitu ungkap nya yang disambut tepuk tangan riuh ratusan pemuda-pemudi yang ada.

Kehadiran Pak Soes dan karya Pram, membuktikan bahwa karya sastra mampu menembus ruang dan waktu. Bagaimanapun penguasa “membersihkan” mereka.
Nyatanya anak muda masih mencari dan membacanya hingga kini. (TQI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.