KILASJATIM.COM, Jakarta – Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tidak setuju dengan kenaikan pajak tempat hiburan sekitar 40 hingga 75%. Kenaikan pajak tersebut dinilai membatasi pertumbuhan sektor pariwisata.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran membeberkan tiga alasan kenaikan pajak hiburan memberatkan sektor usaha pariwisata. Alasan pertama yakni hiburan merupakan bagian penting dari ekosistem pariwisata.
“Kedua adalah kalau kita bicara wisatawan mancanegara, tentu kita juga bicara hiburan. Contohlah seperti di Bali, itu bukan hanya spa ya hiburan juga menjadi salah satu target utama daripada wisatawan mancanegara,” lanjut Maulana dihubungi awak media belum lama ini.
Selanjutnya, pemerintah dinilai membatasi sektor hiburan. Maulana juga menyoroti pemerintah daerah yang kerap memberlakukan aturan pajak di angka terbesar.
“Kalau kita bicara maksimal 75%, pemerintah daerah itu konsentrasinya selalu mengambil pajaknya itu yang maksimal. Enggak pernah realistis menyesuaikan dengan kemampuan atau bagaimana daya saing dari pada daerahnya,” tutur Maulana.
Sebelumnya, pajak hiburan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Berdasarkan pasal 58 ayat 2, khusus tarif pajak barang dan jasa tertentu atas jasa hiburan ditetapkan paling rendah 40% hingga maksimal 75%. Namun tarif itu akan ditetapkan lebih lanjut berdasarkan peraturan daerah.
Pajak hiburan sendiri menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah. Dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat 15 Desember 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif. Seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir. Adapun realisasi penerimaan pajak daerah hingga November 2023 sebesar Rp22 triliun atau tumbuh 3,8% secara tahunan. (bbs/bkj)