Kamis Siang di Bogor dan Ikhtiar Mematahkan Perangkap Malthus

oleh -786 Dilihat

Oleh: M. Eri Irawan

Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Banteng Muda Indonesia (BMI) Kota Surabaya

Ekonom Thomas Robert Malthus membuat ramalan tentang perangkap yang mengerikan pada 1798. Suatu saat, kelak dunia akan bergolak, karena pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur tak akan bisa diimbangi dengan pertumbuhan pangan yang mengikuti deret hitung. Kelak, umat manusia akan mengalami krisis pangan.

Hari-hari ini, banyak negara produsen utama pangan dunia memainkan “politik pangan” sesuai kepentingannya masing-masing. Ancaman krisis pangan semakin terasa relevan untuk benar-benar kita perhatikan—juga kita cari jalan keluarnya. Seorang pemimpin visioner seperti Bung Karno telah memprediksinya, menyebutnya sebagai “hari kemudian yang amat ngeri”, serupa satu todongan pistol “mau hidup ataukah mau mati”, yang digambarkannya ketika meletakkan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogoro yang kelak kita kenal sebagai Institut Pertanian Bogor (IPB), 27 April 1952.

Kamis siang lalu, 21 September 2023, di IPB, yang 71 tahun silam dibangun Bung Karno, sekali lagi kita melihat bagaimana komitmen PDI Perjuangan dalam menggerakkan kemajuan bangsa—alih-alih melakukan dansa politik sebagaimana dipertontonkan elite politik hari-hari ini. Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDI Perjuangan Prof Rokhmin Dahuri, dan Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, berbincang serius dengan para akademisi kampus tersebut, di antaranya dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB.

Dialog antara Hasto Kristiyanto dan para sivitas akademika semakin meneguhkan dukungan terhadap upaya kampus untuk mengambil peran penting dalam memperjuangkan visi kedaulatan pangan. Hasto menyebut sektor pangan harus jadi “lambang supremasi Indonesia bagi dunia”.

Dan itu bukan jargon kosong. PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang konsisten menaruh perhatian ihwal pangan. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, setahu saya adalah satu-satunya ketua umum partai di Indonesia yang terus memberikan instruksi yang sangat teknis tentang hal ini, antara lain untuk mengembangkan berbagai sumber pangan alternatif pendamping beras, mulai sukun, porang, pisang, talas, ubi, singkong, sagu, sorgum, hingga jagung.

Baca Juga :  SMKN Jateng, Ganjar, dan Tantangan Bung Karno

Di sela-sela langkah menyusuri lorong kampus IPB, langkah Hasto Kristiyanto terhenti saat melihat tulisan terpacak di tembok: “ilmu sistemik geografi dan sosiologi tumbuh-tumbuhan”. Hasto lantas membeber asa Megawati yang ingin Indonesia memiliki peta dinamis tumbuh-tumbuhan dari Aceh hingga Papua.

Selama berpuluh-puluh tahun, Indonesia terbiasa melihat beras sebagai penanda kesejahteraan pada sektor pangan. Bantuan sosial pun berbentuk beras tanpa melihat kekayaan khazanah pangan di nusantara. Padahal begitu banyak alternatif pangan di Tanah Air.

Alternatif pangan ini tak hanya di darat, tapi juga di laut. Salah satunya adalah spirulina yang merupakan tanaman ganggang berwarna hijau kebiruan yang hidup di air laut dan air tawar, yang diolah menjadi suplemen dalam bentuk tablet, bubuk, atau minuman, yang dapat kita konsumsi. Di IPB, Hasto mencermati spirulina yang telah diolah menjadi beragam jenis produk, mulai kukis, bolu, hingga minuman.

Sikap tegas dipancangkan PDI Perjuangan: untuk mengatasi sederet persoalan pangan, perguruan tinggi menjadi ujung tombak dan kunci melalui riset-riset yang berkesinambungan. Pentingnya peran perguruan tinggi dalam pengembangan kedaulatan pangan Indonesia sudah disadari Bung Karno dengan membangun IPB sejak 71 tahun silam. Kampus menjadi tempat ilmu pengetahuan bertemu dengan kemanusiaan dan amal kebajikan. Ilmu berkembang tidak untuk ilmu sendiri, namun untuk umat manusia.

“Maka, pemuda-pemudi, dapatkan persediaan bahan makanan itu kita tambah? Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah, tetapi tidak sekedar sinisme, tidak sekedar main politik, melainkan dengan bekerja keras atas dasar mengerti jalan-jalannya memecahkan problem yang sulit ini,” kata Bung Karno.

Tentu “mengerti jalan-jalannya memecahkan problem yang sulit ini” yang dimaksud Bung Karno berkaitan dengan dunia ilmu pengetahuan sebagai hulu untuk menciptakan fondasi sektor pangan yang tangguh.

Baca Juga :  PDIP Gresik Satukan Kampanye Coblos Gus Ipul-Puti dan Jokowi

Visi ini kemudian dilanjutkan dan dikembangkan Megawati Sukarnoputri, Presiden Kelima RI yang saat ini menjadi ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional. Riset menjadi hulu kedaulatan pangan. Maka sejak beberapa tahun terakhir, Megawati begitu getol menginstruksikan inovasi berbagai pengembangan sektor pangan.

Tantangan visi kedaulatan pangan yang digagas sejak masa Bung Karno adalah mengintegrasikan sejumlah temuan dari kampus untuk bisa masuk ke dalam industri dan terjadi hilirisasi (scaling up). Link and match harus diciptakan antara lingkungan kampus dan dunia industri. Semua penelitian dunia kampus mengenai pangan harus bisa diakses dunia industri dan sebaliknya industri harus ikut bertanggung jawab membiayai, karena riset membutuhkan waktu lama dan biaya tak sedikit.

Di sinilah kita membutuhkan sosok pemimpin yang memahami visi besar Bung Karno di sektor kedaulatan pangan. Pemimpin yang menunjukkan bahwa negara tidak tidur dan menjaga agar visi ini terlaksana melalui pembuatan serangkaian regulasi dan aturan yang ketat dan konsisten. Dan kita menemukan itu pada sosok Ganjar Pranowo yang selama memimpin Jawa Tengah memiliki strategi pangan jitu.

Ganjar menggandeng pemerintah desa, mengajak petani menanam tanaman pendamping beras, dan mendirikan badan usaha milik petani. Hasilnya dia berhasil membawa Jawa Tengah menjadi lumbung padi nasional. Ganjar juga membuat program Kartu Tani sejak 2015, yang menjadi basis data untuk memacu produktivitas petani, termasuk guna penyaluran pupuk bersubsidi.

Ganjar memberi bukti bahwa visi besar sektor pangan harus dikerjakan dengan detil dan konsisten menjadikan petani sebagai subyek. Dan jauh lebih penting: tidak menjadikannya sekadar proyek gigantik belaka yang alih-alih mampu melipatgandakan capaian pangan, malah menjadi proyek tak jelas jluntrungannya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.