KILASJATIM.COM, Surabaya: Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya Reni Astuti meminta Pemerintah Kota untuk lebih serius dalam menangani kasus anak putus sekolah. Karena Kota Surabaya semestinya bisa mewujudkan zero putus sekolah.
Dilihat dari kekuatan APBD yang besar, serta tingkat partisipasi masyarakat dan perusahaan di Surabaya yang sangat tinggi di bidang pendidikan. Sehingga bisa mewujudkan visi Kota Surabaya “Gotong Royong Menuju Surabaya Kota Dunia yang Maju, Humanis, dan Berkelanjutan”.
Reni menjelaskan, Surabaya memiliki Perda No 16 tahun 2012 yang menjelaskan tentang penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 12 tahun di Surabaya. Lewat perda itu, Pemkot Surabaya memiliki kewajiban untuk memperhatikan pendidikan dasar SD – SMP.
“Sedangkat di tingkat SMA dan SMK merupakan wewenang Pemprov Jatim, namun Pemkot masih punya tanggung jawab,” kata Reni Astuti, Senin, 10/7/2023.
Politikus PKS ini mengakui bahwa Pemkot sudah menunjukkan atensinya yang besar untuk anak sekolah dari keluarga miskin, diberikan bantuan beasiswa Pemuda Tangguh. Pemkot menyalurkan bantuan Rp 200 ribu per bulan serta seragam dan sepatu. Semuanya dari APBD Kota Surabaya.
“Berbeda dengan Sekolah Swasta. Itu masih ada biaya lain yang tidak bisa tercukupi dengan bantuan Rp 200 ribu itu. Inilah yang menyulitkan warga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” jelas Reni.
Tidak mengherankan jika masih banyak anak sekolah yang putus sekolah ditemukan di kota Pahlawan ini. “Sangat Ironi apabila di Kota ini masih ada anak yang putus sekolah bila dikaitkan dengan visi besar Surabaya,” katanya.
Adanya anak putus sekolah itu juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan keluarga. Jika anak tidak punya aktifitas pendidikan, maka akan rentan hal-hal negatif. Seperti narkoba, kriminalitas, dan lainnya.
Perlu solusi dari hulu hingga hilir
Masih banyaknya anak putus sekolah maupun yang tidak lulus akibat ijazah ditahan, tidak bisa ikut ujian atau tidak bisa ambil rapor setiap tahunnya, menggugah nurani Reni Astuti, baik selaku politisi pimpinan DPRD Surabaya maupun sebagai pribadi. Menurutnya, harus ada solusi dari masalah di sisi hulu hingga hilir.
Untuk itu, Reni meminta Pemkot Surabaya untuk lebih fokus memikirkan sisi hulu dari persoalan tersebut. Apakah keluarga tersebut masuk dalam gakin ekstrem, atau orang tua siswa itu berpenghasilan kecil atau karena persoalan lain.
“Cari detailnya melalui perangkat baik tingkat OPD maupun RT-RW. Apalagi kalau siswa itu masuk di tingkat Pendidikan SMA/SMK yang jadi wewenang Pemprov Jatim,” katanya.
Reni juga mendorong Pemkot untuk segera berkoordinasi dengan Pemprov agar bisa memastikan anak-anak di Surabaya mendapat pendidikan berkualitas.
“Harus ada sistem untuk memperbaiki hulu. Kalau di Surabaya ada kategori pramiskin, miskin, dan miskin esktrem. Sebenarnya lewat kategori itu, Pemkot sudah bisa memantau warga miskin yang anaknya masuk SMP atau SMA. Untuk hal ini, pejabat daerah atau kelurahan harus proaktif melihat warganya. Didata siapa yang kesulitan, lalu dikoordinasikan dengan Pemkot,” tutur Reni.
Terkait Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA) untuk sekolah SD dan SMP swasta, Reni berpendapat bahwa SD maupun SMP swasta yang menerima lebih dari 5% gakin, akan lebih eloknya jika BOPDA nya ditambah sesuai dengan besaran prosentasi gakin yang di terima sekolah swasta tersebut.
Hal itu tentunya akan mengurangi beban sekolah swasta, dan juga akan memberikan kesempatan anak gakin bersekolah lebih banyak. Tentunya hal ini akan mempercepat tercapainya zero putus sekolah di Surabaya.(den/ADV)