Soal Tarif Pajak Hiburan, Ketua Forum Tax Center Ubaya Ingatkan Moralitas

oleh -331 Dilihat

KILASJATIM.COM, SURABAYA – Undang-Undang No 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (HKPD) mulai berlaku awal Januari 2024, yang didalamnya juga mengatur tentang tarif pajak hiburan. Menyoal tarif pajak hiburan, begini paparan Drs, N. Purnomolastu, Ak., MM, Ketua Forum Tax Center yang juga Dosen Politeknik Ubaya (Universitas  Surabaya).

Sebelum membahas tentang pro dan kontra meningkatnya pajak hiburan, maka perlu dikaji soal UU HKPD ini. UU ini dikeluarkan untuk menyempurnakan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintahan Daerah menyangkut pelaksanaan desentralisasi fiscal dan UU Nor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Dalam UU no 28 tahun 2009 tentang PDRD Bagian 9 Pasal 45 menetapkan bahwa Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, kelab, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%. Namun khusus untuk hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

Dalam Bab I pasal 1 ayat 42 UU no 1 tahun 2022 yang dimaksudkan dengan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu. Lebih lanjut di pasal 58 disebutkan bahwa tarif PBJT untuk hiburan bersifat tradisional ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan berupa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 % dan paling tinggi 75%.

Jadi dalam UU baru khusus PBJT tertentu ada pengenaan minimal 40% namun untuk jumlah maximalnya masih sama 75% sedangkan untuk hiburan yang bersifat tradisional masih ditetapkan maximal 10%.

Baca Juga :  Mahasiswa Ubaya Raih Gold Medal Kompetisi Debat Nasional NUDC 2023

Setelah mempelajari kedua jenis undang undang tersebut permasalahannya adalah apakah pajak maximal 75% tersebut terlalu besar atau masih tergolong kecil. Untuk dapat menilai hal tersebut maka baiklah jika dibandingkan dengan negara lain. Di negara Asean pajak sejenis pajak hiburan tergolong rendah seperti Thailand sebesar 5 %, Malyasia 6%, Singapura 9% dan Filipina 18%.

Di Pulau Bali sendiri berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011 bab 2 pasal 6 Tarif pajak hiburan ditetapkan sebesar 10%. Khusus tarif pajak hiburan berupa mandi uap/spa, diskotik, karaoke, klab malam dan panti pijat, ditetapkan sebesar 12,5%. Sedangkan hiburan rakyat/tradisional tarif pajaknya ditetapkan sebesar 5% dan hiburan kesenian rakyat/tradisional yang diselenggarakan oleh desa adat tarif pajak ditetapkan 0%.

Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata adalah melalui penetapan harga yang kompetitif. Kompetitif itu artinya dibandingkan dengan keadaan sekitar dalam hal ini penerapan pajak hiburan. Indonesia juga harus memperhatikan pajak yang dikenakan di negara tetangga seperti negara di Asean. Melalui penerapan pajak yang “pas” akan meningkatkan kedatangan wisatawan khususnya di pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata terpopuler di Indonesia. Kenaikan pajak hiburan yang selama ini diterapkan 12,5% menjadi 40% di Pulau Bali khususnya di Kabupaten Badung dengan mengambil contohnya, akan sangat memberatkan bagi pengusaha di Bali terlebih karena pariwisata di Bali baru saja recovery untuk memulihkan kesehatan pariwisata dari keterpurukannya sejak 2019 saat adanya pandemi. Banyak hotel yang dijual atau tutup dan karyawan di PHK.

Dengan demikian jika ada kenaikan yang secara drastis, dapat menjadi boomerang bagi para wisatawan yang ingin berlibur dibali terlebih wisatawan manca negara. Menurut Drs, N. Purnomolastu, Ak., MM, ada beberapa hal yang dipertimbangkan sekaligus menjadi perhatian untuk manaikkan pajak hiburan. Diantaranya, bshwa tidak tiap daerah menjadi tujuan wisata dan tiap daerah mempunyai karakteristik tertentu, seperti di Bali yang banyak mengandalkan wisatawan manca negara maka pengenaan pajak juga harus memperhatikan tarif pajak negara sekitar.

Baca Juga :  Dorong Program Digitalisasi Sekolah, PLN Bantu SMKN 3 Pamekasan Kembangkan Infrastruktur Digital

Juga patut dipertimbangkan bahwa faktor kompetisi penerapan taif pajak dengan negara lain juga diharapkan menjadi pertimbangan. Akan lebih baik juga jika  memprioritaskan keterserapan tenaga kerja daripada meningkatkan pendapatan dari pajak sebagai penerimaan negara belum sepenuhnya berguna untuk kepentingan rakyat karena masih banyak dikorupsi.

Oleh karena itu, Drs, N. Purnomolastu, Ak., MM, menyimpulkan bahwa kenaikan pajak hiburan minimal sebesar 40% dirasakan masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Namun jika ada tujuan lain seperti untuk mengurangi efek negatif atas hiburan tertentu maka perlu adanya pengawasan yang lebih baik atau bahkan bisa pajak dinaikkan 100%. Namun menaikkan tarif pajak lebih tinggi ada kecenderungan terjadi penyelewengan pajak. Sedangkan tarif pajak rendah kemungkinan akan meningkatkan pengunjung hiburan dengan adanya kemungkinan efek moralitas.

“Jika ingin meningkatkan moralitas dengan menaikkan tarif pajak, kemungkinan pendapatan menurun atau jika ingin meningkatkan pendapatan maka efek negatif kemungkinan juga meningkat. Mencari titik temu yang pas diperlukan karena tidak bisa kita meningkatkan moralitas sekaligus pendapatan, jangan sampai moralitas menurun namun pendapatan tidak kunjung meningkat,” pungkas Purnomolastu.(tok)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News