Oleh: Eri Irawan
Penulis, tinggal di Surabaya
Melihat anak-anak muda itu, kita menjadi percaya, negeri ini tak sepatutnya putus harapan. Di Kelurahan Ketabang, Kecamatan Genteng, Surabaya, Rabu malam (19/6/2024), dari sebuah unggahan video di Instagram Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, kita menyaksikan bagaimana percakapan anak-anak muda tentang kota mereka, sesuatu yang hari ini ditenggelamkan riuh teriakan dari game online dan bising gosip tentang hal-hal yang tak penting dalam hidup kita.
Di video lain, saya juga melihat proses serupa di beragam kecamatan lainnya, yang dihadiri bergantian antara Wali Kota Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji. Inilah proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tematik isu-isu khas anak muda. Nama programnya adalah “Cangkrukan Arek Suroboyo”.
Lewat video yang beredar, saya melihat suasana begitu rileks namun tetap argumentatif. Seolah bukan forum teknokratis untuk membahas pembangunan Surabaya, sebuah kota raksasa dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan; juga kota dengan besaran ekonomi terbesar keenam di Asia Tenggara.
Kita melihat keikhlasan untuk saling mendengarkan. Wali Kota Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji, yang menjalin kolaborasi apik bersama DPRD Surabaya yang diketuai Adi Sutarwijono, memang mengundang anak-anak muda di setiap kelurahan untuk memberi masukan soal pembangunan kota. Ini relatif berbeda secara diametral dengan proses teknorasi serupa di kabupaten/kota di mana Musrenbang pemuda terpusat dilakukan di tingkat kabupaten/kota, tidak berbasis kelurahan/desa. Wali Kota Eri bahkan langsung menyiapkan rencana eksekusi atas usulan tersebut malam itu juga.
Ratusan anak muda dari seluruh Rukun Warga di masing-masing kelurahan hadir. Juga perwakilan dari berbagai organisasi: Karang Taruna, GP Ansor, Fatayat, Ikatan Pelajar NU (IPNU), Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, sejumlah remaja masjid dan gereja, serta anak-anak muda dari berbagai organisasi dan komunitas. Semuanya mendapat kesempatan untuk mengemukakan kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk kota mereka.
Kita tahu Surabaya menyediakan berderet kemungkinan, dan warganya memiliki kemampuan untuk mengubah ketidakmungkinan. Daya dan ikhtiar merupakan bagian dari sejarah yang membentuk kota ini bersama doa dan air mata keikhlasan selama 731 tahun.
Maka saat Wali Kota Eri Cahyadi menyimak betul usulan anak-anak muda, kita tahu masa depan kota ini akan lebih baik. Memfasilitasi anak muda untuk wani berkontribusi pada pembangunan kota. Sesekali mungkin dalam perjalanan itu, ada hal keliru yang diusulkan anak-anak muda. Bisa jadi ada kesalahan dalam tindakan. Namun sejarah anak-anak muda adalah sejarah pembelajaran hidup. Kearifan datang dari sana. Kebijaksanaan muncul dari pengalaman dan keberanian menghadapi kemungkinan berbuat keliru.
“Saya dulu juga pernah muda, pasti juga pernah berbuat salah. Maka sekarang cermati, pikirkan sebelum melakukan aktivitas, temukan jati diri kalian sendiri, ingat selalu orang tua,” pesan Eri Cahyadi, yang saya kutip dari sebuah berita.
Misalnya ada usulan pemakaian lahan aset Pemkot Surabaya untuk tempat usaha rintisan anak-anak muda. Ada pula usulan beasiswa Kejar Paket, yang ternyata menjadi temuan menarik untuk “menjangkau anak muda yang belum terjangkau”.
Saat mempersilakan lahan Pemkot Surabaya digunakan untuk usaha warga, termasuk anak-anak muda, Wali Kota Eri Cahyadi tahu ada kemungkinan untuk gagal. Namun Eri tahu, anak-anak muda itu akan belajar dan tugasnya saat ini adalah memberikan ruang, bahkan sejak mulai dari perencanaan. Eri memahami, bahwa birokrasi bukanlah yang serba tahu dan selalu tahu apa yang dibutuhkan masyarakat.
Itulah yang membuat proses Musrenbang Pemuda menjadi cerminan komitmen Pemkot Surabaya dalam menerapkan tata kelola birokrasi yang transformatif, future governance, yang mengubah paradigma “from governing for citizens, to governing with citizens”. “Pemerintah yang mengatur warga” sudah semestinya bersilih rupa menjadi “pemerintah yang bekerja bersama warga”, termasuk anak mudanya.
Maka ketika melihat sebuah video testimoni Ketua Karang Taruna Kecamatan Genteng, Muhammad Basir, dalam pertemuan itu yang menyatakan keharuannya pada proses pelibatan anak-anak muda pada proses pembangunan kota, saya memaknainya sebagai perasaan dihargainya seorang warga oleh penyelenggara kota. Sebuah perasaan tentang kebersamaan dan keinginan untuk menata hidup bersama. Tak hanya untuk hari ini. Ini kisah tentang esok hari.
Bahwa masih ada yang kurang dalam proses teknokrasi pembangunan bersama anak muda tersebut tentu sebuah keniscayaan yang tak seharusnya membuat kita pesimistis. Misalnya dalam proses itu ternyata minim pembahasan soal anak muda yang bermimpi ihwal pentingnya peta perubahan iklim bagi kota semetropolitan Surabaya untuk menjadi kota rendah karbon. Pemkot Surabaya bisa menyempurnakannya dengan perluasan gagasan sistem pembangunan rendah karbon yang bisa memantik ide-ide segar dari kaum muda untuk memperkuatnya.
Lepas dari itu semua, kisah Musrenbang anak muda Surabaya ini mengingatkan kita bahwa dalam konstitusi, partisipasi memang selayaknya dihargai. “Every human being has the right to participate in collective decision-making processes,” kata Jurgen Habermas, filsuf yang mendorong demokrasi deliberatif, sebuah proses yang membuka ruang lebar bagi publik untuk terlibat aktif dalam melahirkan kebijakan publik.
Melalui politik partisipasi, sejatinya Pemerintah Kota Surabaya tak hanya ingin melibatkan anak muda dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasib dan hidup mereka sendiri. Tetapi partisipasi didedikasikan untuk menjadi bagian dari edukasi agar kapasitas dan kesadaran publik kian meningkat dalam proses pengambilan kebijakan—dan kesadaran publik dalam membangun diskursus argumentatif menjadi syarat terwujudnya “public sphere” yang mewadahi proses demokrasi yang deliberatif. Melalui partisipasi, anak muda diajarkan cara untuk berpikir sistematis dan memahami metode teknokrasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Dan anak-anak muda adalah kunci politik partisipasi. Saat anak-anak muda menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sesungguhnya ada keinginan dan dorongan untuk berpartisipasi dalam sejarah penting republik. Sejarah mencatat: ikhtiar mereka berhasil. Di Surabaya, ikhtiar sejarah itu telah disemai, ditaburi pupuk, dan sederet kemungkinan keberhasilan akan tersaji di depan mata: dari kebijakan politik yang menempatkan anak muda di kampung-kampung sebagai pilar pembangunan itulah, kita bisa berharap tentang Surabaya sebagai kota dunia yang maju, humanis, dan berkelanjutan. (*)