Foto: Ist/Dok
KILASJATIM.COM, Malang – Damar memeluk ibunya yang menangis. Tangganya menggenggam erat. Saling menguatkan, atas kepergian dalang wayang Wolak-Walik, Ki Jumaali yang biasa disapa Lek Jum.
“Bu sudah nangisnya. Jangan nangis terus. Ibu sakit, dari tadi belum minum obat. Kalau tambah sakit bagaimana? Kalau ada apa-apa aku sama siapa buk,” kalimat itu meluncur dari bibir Damar Rell Kalyaj, di rumahnya Kepanjen, Malang, Minggu (5/5/2024) malam.
Lek Jum meninggal karena serangan jantung tadi siang sekitar pukul 13.30 di warung kopi milik Rurid, Kepanjen, tak jauh dari rumahnya. Seperti biasa, pagi itu ia memesan kopi tubruk, sambil menanti kopinya ia rebahan di bangku panjang. Sampai siang ia tak kunjung bangun, saat dibangunkan terdengar suara ngorok. Khawatir terjadi sesuatu, ia dilarikan ke rumah sakit. Sebelum sampai rumah sakit Lek Jum dinyatakan meninggal.
Menurut Damar, sejak tiga hari lalu ayahnya mengeluh sakit. Badanya terasa kedinginan. Putra semata wayangnya menyarankan untuk periksa ke dokter. Tapi Lek Jum menolak.
“Ayah itu terakhir periksa lima tahun lalu, ketika sakitnya kambuh saya larikan ke rumah sakit Lavalette. Setelah itu tidak mau periksa lagi sampai sekarang,” cerita mahasiswa semester empat, Jurusan Pendidikan Luar Sekolah ini.
Ia juga menambahkan, jika ayahnya tidak mau menyusahkan keluarga. Selalu menutupi rasa sakitnya, “Dadaku rasanya sesak. Tapi tidak apa, sebentar lagi sembuh”. Kalimat itulah yang membuat Damar meminta ayahnya untuk periksa, dan selalu ditolak ayahnya berulang kali.
Kepergian Lek Jum, pasti meninggalkan kesedihan, bagi yang mengenalnya. Juga bagi saya, cerpen pertama saya Kupu Gajah yang dimuat di Jawa Pos pada 2002, ter ide darinya. Ketika itu ia datang ke rumah sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim (Mbak Ratna), membawa kupu besar warna-warni dari kertas manila.
Lantas, digantungkan pada langit-langit kayu teras, depan kamar Mbak Ratna. Jika tertiup angin kupu buatan tangan itu bergoyang terbang, ingin lepas dari talinya.
Kenangan lain, ketika saya dan Mbak Ratna, ngobrol soal cerpen saya. Lek Jum datang, sambil tertawa-tawa ia meledek.
“Buat apa ke sini? Mbijekne cerpen?” katanya, sambil meraih tiga lembar kertas folio di meja dan membacanya. Setelahnya ia melipat jadi empat dan memasukkan dalam kantong celana. Pergi meninggalkan kami yang tercengang.
Sebulan kemudian majalah Bende, terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur menghubungi saya. Menyampaikan jika cerpen saya berjudul Namaku Gambar, dimuat di sana dan silahkan mengambil honornya. Ketika itu honornya Rp 100 ribu degan potongan ini-itu saya menerima bersih Rp 75 ribu.
Sebuah kejutan, bagi saya, ketika saya sampaikan terimakasih atas bantuannya. Ia tersenyum sebab ia juga tidak tahu kalau tulisan saya lolos redaksi. “Kalau dimuat berarti layak, aku hanya membawa naskah saja,” katanya sambil tertawa.
Ya, Lek Jum dalang wayang Wolak-Walik yang memiliki ciri khas ceplas-ceplos kalau bicara. Mungkin terdengar kasar bagi yang belum mengenalnya. Tetapi itulah ia, apa adanya. Selamat jalan Lek, kisahmu kami kenang dalam ingatan. (tqi)