KILASJATIM. COM, Malang – Magdalena, mengawali obrolan kami tentang bayi laki-laki yang diberikan kepadanya 60 hari lalu. Oleh mahasiswi PTN di Malang. Ketika ia sedang memijat seorang perempuan di sebuah apartemen.
Perempuan berkulit kuning langsat ini, ibu lima anak. Dan menjadi enam anak dengan bayi laki-laki yang ia terima tanpa pikir panjang. Sebab rasa iba.
“Aku tidak tahu, kok bisa ia memberikan anaknya. Umurnya baru dua hari, tapi diserahkan begitu saja bayi itu tanpa rasa menyesal. Apalagi bersalah dan dosa,” katanya sambil meneguk teh panas di tempat ngopi kawasan Merjosari, Senin (28/4/2025).
Lantas ia melanjutkan. Bocah itu diberikan tanpa diberikan nama terlebih dahulu. Semua diserahkan begitu saja. Seolah menyerahkan barang yang tidak dibutuhkan.
Yang membuat Magda heran. Bagimana mungkin ada perempuan dan ibu yang menyerahkan anaknya pada orang tak dikenal, seperti dirinya. Tanpa menanyakan identitas dan alamat rumah.
“Mukanya datar banget. Ini masalah nyawa manusia. Aku tak habis pikir, kucing saja dipelihara anak kok dibuang-buang,” tambahnya kesal.
Mendengar ceritanya, rasanya seperti tinggal di negeri sinetron Indonesia. Yang tokohnya gampang jatuh hati dalam semalam, lantas sewa tempat tinggal bersama. Seolah dunia milik berdua, dengan hari esok cerita sambil mabuk, nonton film porno berdua. Sampai satu hari telat datang bulan, berganti busana berpura-pura hijrah hingga waktu melahirkan tiba.
Selama tidak datang bulan, laki-laki yang seolah paling baik se-dunia mendadak berjarak. Menyampaikan, jika tidak siap menjadi bapak untuk jabang bayi dalam rahim perempuan yang digauli.
Selanjutnya rumah kontrakan bersama habis. Masing-masing melanjutkan tinggal di rumah kos apa adanya. Jarang berjumpa, laki-laki yang awalnya paling baik se-dunia ganti nomor telepon, jika dicari dan ketemu beralasan ini-itu. Diantaranya, menyelesaikan skripsi sebab orang tua di desa sudah mendesak harus segera lulus kuliah.
Perempuan kembali menjadi korban utama. Sendiri, dengan jabang bayi yang mungkin menderita tinggal di rahim nya. Melahirkan dalam senyap di kamar yang sepi. Dan bayi yang dianggap aib turut kompromi dengan ketakutan si ibu. Tak banyak menangis. Tangisnya pecah ketika dalam dekapan Magdalena. Tangan dan kakinya lincah mendepak dunia.
“Aku khawatir bayi itu dibunuh. Kasihan. Pergaulan anak zaman sekarang mengkhawatirkan. Apalagi anak perantauan jauh dari pengawasan orang tua,” keluhnya sambil menarik nafas panjang.
Magda benar, dalam media sosial atau televisi sering kali mengabarkan penemuan bayi yang sengaja disingkirkan. Ada yang masih hidup, tak jarang ditemukan sudah mati. Kami berdua terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tak lama kemudian, duduk seorang pemuda mengenakan kaos bertulis “Perampasan ruang hidup adalah genosida”. (TQI)