Oleh: Hadi Prasetya
Pengamat sosial – politik & ekonomi
Era Wild West mengajarkan bahwa hukum tanpa legitimasi hanyalah alat kontrol, sementara legitimasi tanpa hukum rentan menjadi anarki. Politik kontemporer perlu mencari keseimbangan, di mana hukum mencerminkan keadilan substantif, dan legitimasi dibangun melalui proses inklusif. Tanpa itu, konflik kekuasaan akan terus menyerupai “frontier” tanpa ujung.
Proloog
Suka menonton film koboi era 60an yang berkisah drama kekuasaan, keadilan dan perburuan di era Wild West? Cerita bertema Wild Wild West umumnya berlatar belakang Amerika Serikat abad ke-19, saat penjelajahan barat masih berlangsung. Tema ini seringkali menampilkan karakter koboi, penjahat, dan sheriff yang berjuang untuk mempertahankan hukum dan ketertiban di wilayah frontier.
Karakter koboi dan sheriff dalam cerita Wild West seringkali menunjukkan keteguhan dan ketabahan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan
Ia juga menekankan pentingnya penegakan keadilan dan hukum, yang relevan dengan kehidupan masa kini dan depan. Karakter dalam cerita Wild West beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan menghadapi tantangan yang tidak terduga, sehinggarelevan dengan kehidupan masa kini yang yang penuh dinamika, intrik, persaingan brutal dan sebagainya.
Baik di era Wild West maupun politik kontemporer, konsep legalitas (kepatuhan pada hukum tertulis) dan legitimasi (penerimaan moral oleh masyarakat) sering bertentangan. Dengan narasi hukum versus keadilan darurat, mencerminkan ketegangan antara aturan formal dan persepsi publik berjalan terus dari masa ke masa.
Hukum vs. Keadilan Frontier
Ketidakpercayaan pada institusi menjadi ciri hukum di Wild West, yang sering dijalankan oleh otoritas korup atau tidak efektif (misal sheriff yang bekerja untuk kepentingan penguasa). Hal ini mendorong masyarakat beralih ke vigilante (cenderung main hakim sendiri) yang dianggap legitimatif meski metodenya ilegal.
Figur seperti Billy the Kid dalam film, dianggap sebagai pemberontak melawan sistem opresif, dan menunjukkan legitimasi bisa lahir dari penolakan terhadap legalitas yang tak adil.
Ada kalanya di era Wild West diwarnai dengan keadilan instan (lynching, duel) yang mencerminkan prioritas hasil ketimbang prosedur, sehingga mirip dengan retorika “hukum harus ditegakkan, apa pun caranya” di masa kini.
Di era politik kontemporer protes dan gerakan sosialseperti aksi Black Lives Matter atau Occupy Wall Street dianggap ilegal oleh negara, tetapi mendapat legitimasi di mata pendukungnya. Sebaliknya, kebijakan seperti pemutusan hubungan kerja massal mungkin legal, tetapi dianggap tidak legitimate.
Klaim kecurangan pemilu di AS yang berbentuk serangan Kapitol AS pada 6 Januari 2021,menunjukkan kelompok yang menolak legalitas hasil pemilu demi narasi legitimasi “penyelamatan negara“.
Ada lagi kisah whistleblower dan pengungkapan rahasia oleh Edward Snowden atau Julian Assangeyang dianggap melanggar hukum, tetapi dianggap pahlawan oleh yang mempertanyakan legitimasi pengawasan massal.
Narasi vs. Realitas
Seperti film Western yang meromantisasi outlaws, media modern membentuk persepsi legitimasi melalui framing misal “pemberontak demokrasi” melawan “pengkhianat”.
Ketidakpercayaan pada pemerintah mirip dengan ketiadaan otoritas sentral di Wild West, yang memunculkan figur karismatik (seperti Donald Trump) yang menjanjikan “penegakan hukum” sesuai versi mereka.
Max Weber (sosiolog-ekonom Jerman) menyatakan negara harus memonopoli kekerasan legitimasi. Artinya penggunaan atau ancaman kekerasan adalah bagian integral dari negara. Namun, kekerasan ini harus sah, artinya disetujui dan diatur oleh hukum dan memiliki otoritas yang sah
Lebih lanjut Weber menyatakan bahwa negara harus memiliki kekuasaan tunggal untuk menggunakan kekerasan, baik secara fisik maupun simbolis. Ini berarti tidak ada individu atau kelompok lain yang diizinkan menggunakan kekerasan secara sah dalam wilayah negara tersebut.
Dalam praksis penerapan hukum dan keadilan, terutama dalam sistem kekuasaan pemerintahan oligarkis (dikuasai segelintir orang/kelompok) yang diperoleh dari proses demokrasi kurang transparan dan akuntabel, menyisakan lebih banyak suasana kurang legitimasi ketimbang legalitas semata. Protes dan pencarian keadilan terus berlangsung dinamis ketika kekuasaan oligarkis dalam mempertahankan kekuasaannya memanfaatkan “hak monopoli kekerasan” (meminjam istilah Weber) untuk membangun narasi legalitas baik secara verbal (buzer), penggunaan institusi hukum, bahkan melalui penyanderaan politik atas nama hukum versi sistem oligarki.
Politik Kontemporer: Legalitas dan Legitimasi
Rezim kekuasaan yang menghadapi pertentangan antara legalitas (kepatuhan formal pada hukum) dan legitimasi (penerimaan rakyat) sering kali bergantung pada kombinasi kekuatan represif, dukungan eksternal, dan manipulasi institusi untuk bertahan. Namun, ketahanannya bervariasi tergantung konteks, sumber daya, dan tekanan internal-eksternal.
Beberapa contoh kasus di berbagai negara:
∼ Venezuela: Nicolás Maduro memenangkan pemilu 2018 yang dianggap cacat oleh oposisi dan komunitas internasional. Ia menggunakan lembaga hukum (Mahkamah Agung yang pro-rezim) untuk membubarkan parlemen oposisi. Krisis terjadi, mayoritas rakyat menolak rezim karena hiperinflasi, kelaparan, dan represi. Lalu Juan Guaidó (diakui lebih dari 60 negara) dideklarasikan sebagai presiden sementara pada 2019, dengan dukungan militer dan kontrol atas sumber daya minyak, di backing Rusia, Tiongkok, dan Kuba. Meski ekonomi runtuh, tetapi rezim bertahan melalui “koersi” (penahanan oposisi, sensor media).
Dari fakta berberapa negara tersebut, faktor penentu ketahanan rezim diwarnai: pertama, faktor represi dimana militer dan polisi yang loyal. Kedua adanya dukungan eksternal baik berupa bantuan ekonomi/militer dari sekutu. Ketiga adalah manipulasi hukum dengan mengubah konstitusi atau membungkam oposisi secara “legal”. Keempat, fragmentasi oposisi yaitu jika perlawanan tidak terorganisir, rezim lebih mudah bertahan. Kelima, kontrol narasi, propaganda dilakukan melalui media negara dan disinformasi dilakukan untuk mempertahankan rezim.
Persoalan yang dihadapi rezim dengan legalitas semu dan kecenderungan kehilangan legitimasi akan mengalami masa krisis dan penuh resiko ketika terjadi krisis ekonomi dan tekanan ’sanksi’ internasional. Korupsi yang sistemik dan masif juga akan menjadi pemicu perlawanan rakyat berbasis kurangnya atau hilangnya legitimasi.
Rezim bisa bertahan puluhan tahun jika mampu mengkonsolidasi kekuatan koersif, dukungan eksternal, dan kontrol narasi. Namun, tanpa legitimasi, stabilitas jangka panjangnya rentan terhadap guncangan ekonomi, pemberontakan, atau tekanan global. Kasus seperti Korea Utara (bertahan via isolasi dan represi) atau Kuba (via ideologi) menunjukkan variasi strategi, tetapi mayoritas rezim otoriter akhirnya kolaps jika tidak ada mekanisme regenerasi kekuasaan yang inklusif.
Politik kontemporer di Indonesia.
Di negara demokratis dengan pendapatan perkapita rendah, kesenjangan sosial tinggi, pengangguran, dan tingkat pendidikan yang rendah, kepedulian terhadap legitimasi dan legalitas pemerintahan cenderung kompleks, akan menghadapi dinamika sebagai berikut:
Kepedulian terhadap Legitimas makin lemah karena minimnya pemahaman hak politik dan mekanisme demokrasi, sehingga membuat masyarakat rentan manipulasi atau apatis. Pengangguran dan ketergantungan ekonomi mendorong kaum penganggur atau pekerja informal mungkin terpaksa mendukung penguasa demi akses ke sumber daya.
Sistem hukum yang lemah ditandai korupsi merajalela, mendorong masyarakat menganggap keadilan menjadi sebuah ilusi, sehingga masyarakat memilih menjadi pragmatis dan opportunis pada saat bersamaan.
Indonesia Emas: Jangan menjadi Fatamorgana
Dalam konteks rezim yang terjebak dalam ketegangan antara legalitas dan legitimasi, terutama di negara dengan bonus demografi (populasi muda besar) seperti Indonesia, peluang untuk maju atau terjebak dalam middle-income trap sangat bergantung pada kemampuan rezim dan sistem politik-ekonominya mengelola tiga faktor kritis: kualitas institusi, investasi sumber daya manusia, dan transformasi struktural ekonomi.
Ketika legalitas dan legitimasi rapuh, dan rezim terus menggunakan kekuatan represif, manipulasi hukum, dan dukungan eksternal akan cenderung menghadapi risiko terjebak dalam middle-income trap karenainstitusi lemah. Korupsi yang menggila, birokrasi inefisien, dan hukum yang diskriminatif menghambat investasi jangka panjang dan inovasi.
Bonus demografi yang sebenarnya menjadi potensi dan peluang emas, bisa berubah menjadi beban. Populasi muda besar tidak otomatis menjadi aset, jika rezim gagal menciptakan lapangan kerja berkualitas (karena ekonomi bergantung pada sektor informal atau ekstraktif), bonus demografi berubah menjadi pengangguran massal dan ketidakstabilan.Dan ini mengerikan.
Jika rezim meningkatkan ketergantungan pada sektor rentan untuk stabilitas jangka pendek denganmengandalkan ekspor sumber daya alam atau industri padat karya berteknologi rendah, tanpa diversifikasi ke sektor bernilai tambah tinggi, maka pengangguran masal akibat bonus demografi yang berpuncak pada sekitar 2030-2035 akan menjadi ‘bom waktu’ bagi perekonomian di Indonesia.
Bonus demografi bisa menjadi peluang jika rezim atau sistem politik mampu melakukan transformasi kebijakan, meski dalam ketegangan legitimasi-legalitas:
Melompat ke High-Income.
Indonesia bisa melompat ke high-income country jika ada koalisi reformis di dalam rezim atau menggunakan tekanan eksternal yang memaksa modernisasi. Investasi masif di infrastruktur, pendidikan STEM (sains, teknologi, teknik, matematika), dan industri berteknologi menjadi syarat mutlak.
Negara dengan bonus demografi yang menghadapi ketegangan legitimasi-legalitas bisa maju jika elit politik memiliki visi jangka panjang untuk membangun institusi inklusif dan ekonomi berbasis pengetahuan. Namun, jika rezim hanya fokus pada ‘survival politik’ melalui represi dan eksploitasi sumber daya jangka pendek, bonus demografi akan menjadi “bom waktu” yang memperdalam middle-income trap.
Kunci utamanya adalah kemampuan mentransformasi ketegangan politik menjadi konsensus pembangunan, seperti yang terjadi di sebagian negara Asia Timur. Tanpa itu, stagnasi adalah skenario paling mungkin.
Epiloog
Skandal politik yang berkelindan dengan berbagai skandal kejahatan kerah putih, serta perang narasi antara kaum oportunis-pragmatis dengan kaum ‘pejuang’ keadilan-kesejahteraan semakin mewarnai politik kontemporer Indonesia dewasa ini. Entah sampai kapan.
Persaingan dan perebutan kekuasaan menuju pemilu 2029 sudah dimulai dengan kemasan-kemasan patriotik-kerakyatan dalam suasana yang ironisketika rakyat semakin apatis, pragmatis, dan oportunis karena massalah ‘survival’. Narasi #kabur aja dulu atau #yang penting selamat, menjadi ironi dari suatu bangsa besar yang seharusnya bermartabat, dengan UUD 1945 dan Pancasila yang diakui dan dihormati berbagai bangsa-negara.
Mungkin kita masih merasa nyaman hidup dari warisan Wild West yang mengajarkan bahwa hukum tanpa legitimasi hanyalah alat kontrol, sementara legitimasi tanpa hukum rentan menjadi anarki.
Politik kontemporer seharusnya perlu mencari keseimbangan, di mana hukum mencerminkan keadilan substantif, dan legitimasi dibangun melalui proses inklusif. Tanpa itu, konflik kekuasaan akan terus menyerupai “frontier” tanpa ujung.
Semoga Indonesia Emas 2045 itu benar-benar ada, bukan hanya fatamorgana. (*)