Cerita Yang Tersisa Dari Covid-19 Lima Tahun Lalu

oleh -330 Dilihat

KILASJATIM. COM, Malang– Maret lima tahun lalu, pada 2020 pandemi Covid-19 merebak. Sekolah diliburkan, kantor ditutup dan untuk pertama kalinya kita mengenal WFH (Work From Home) setelah kota di lockdown.

Kehidupan mulai berubah, kita yang biasa beraktivitas kemana saja harus menahan diri. Sebab, korban makin berjatuhan, rumah sakit tak mampu menampung pasien. Kamar jenazah bertumpuk tak bisa memakamkan korban dalam waktu bersamaan.

Rumah saya tak jauh dari pemakaman Samaan, Klojen tak ada matinya. Setiap saat sirine meraung menandai adanya penguburan.

Semakin mencekam dari lantai dua kamar, selalu terdengar kabar duka bersahutan. Pernah sehari sampai lima kali kabar kematian disiarkan.

“Bagi kerabat, tetangga dan handai tolan, diharapkan tidak melakukan takziah, demi keamanan. Demikian berita duka kami sampaikan…” begitu pengumuman dari toa masjid bersahutan.

Hal lebih menyakitkan, kawan dan tetangga yang baru kemarin ketemu atau berbalas WhatsApp ternyata meninggal dunia pada hari berikutnya.

“Mbak Yuli meninggal. Tadi jam sembilan pagi. Kena covid,” kata kakak saya menyampaikan duka. Saya terkejut, sebab baru dua hari lalu ia baru dari lapak kue dan kami menertawakan keadaan, seolah tidak ada masa depan.

Ibu dua anak itu suka bercanda tentang covid dan bagaimana jika ia terkena. Pasti ia tidak bersedia dibawa ke ruang isolasi. Ia takut mati dan sendiri.

Bukan hanya Mbak Yuli, Mira yang berjualan sari kacang hijau. Setelah dua hari tidak mengirim dagangan. Saya tanyakan pada pedagang kue lain, apakah Mira sakit?

“Wes meninggal kemarin. Suami nya ngabari kemari,” kata Bu Katrina yang membuka toko kue di tengah pasar Tawangmangu.

Baca Juga :  Catatkan Dua Rekor Lewat Pemukulan Kentongan Serentak dan Kirab Pataka Estafet, Khofifah Terima Penghargaan MURI Awal Tahun Baru 2023

Kehilangan kawan sesama pedagang tidak hanya sampai sana. Mas Jon, pedagang klamben yang biasa mengirim dagangan tiga hari sekali, tak nampak selama dua minggu. Ceritanya sama, meninggal karena Covid-19.

Sesungguhnya saya pun turut terkena virus yang sama. Mungkin dua kali, sebab gejala serupa demam, sesak nafas, dada sakit, mual, tenggorokan seperti terbakar dan lidah saya sudah mati rasa tak dapat mencecap asin atau manis.

Sebab gejala tersebut saya isolasi sendiri di rumah. Minum vitamin, antibiotik dan membuat ramuan rempah-rempah dari jahe, sere, kencur, kayu manis, bunga lawang dan cengkih, ditambah madu. Begitu sampai saya sembuh.

Saat itu bulan Ramadhan, seperti sekarang ada larangan sholat tarawih berjamaah. Jika terpaksa sholat tarawih bersama, musholla di steril kan dengan desinfektan. Keadaan berlangsung sampai lebaran, kami tidak berani silaturahmi satu dengan lain.

Dan hari ini lima tahun lalu, 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan penyakit yang disebabkan oleh virus korona jenis baru SARS-CoV-2 sebagai pandemi. Wabah Covid-19 pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok pada tanggal 31 Desember 2019.

Virus corona masuk Indonesia pada Senin, 2 Maret 2020. Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa virus penyebab COVID-19 ini telah menjangkiti dua warga Indonesia dari kota Depok, Jawa Barat. Seorang ibu (64) dan putrinya (31).

COVID-19 disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, yang menyebar melalui percikan air liur, kontak, dan transmisi melalui udara. Penyebarannya terjadi lewat: Percikan air liur.

Melalui Keppres No. 17 Tahun 2023, Presiden Joko Widodo menetapkan status pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berakhir dan mengubah status faktual Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menjadi penyakit endemi di Indonesia. Pada Rabu, 21 Juni 2023, Indonesia dinyatakan telah beralih dari masa pandemi menjadi endemi. (TQI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News