Yoes Wibowo Bawa Nyala Api ke Yogjakarta

oleh -286 Dilihat

KILASJATIM.COM, SURABAYA – Yoes Wibowo pelukis dari Surabaya pada debut pertamanya kali ini memilih berpameran tunggal di Yogyakarta. Difasilitasi Sitok Srengenge seniman sekaligus Direktur Jiwa Gallery, Yoes Wibowo memajang 16 karya terbarunya di galeri yang berada di dalam kompleks Jiwajawi Jogjakarta, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, DIY.

Keenam belas lukisan Yoes itu istimewa. Yoes sapaan Yoes Wibowo kelahiran Sidoarjo, 1 Oktober 1974 itu, memanfaatkan pengalaman visualnya yang mengendap bertahun-tahun sejak ia muda. Bahkan jauh sebelum ia menjadi pelukis. Yakni ketika ia mengamati relief-relief candi dan bangunan masa lampau yang ia temui di berbagai daerah. Baik itu ketika disampaikan oleh orang tuanya atau kemudian yang dia dapati sendiri selama bepergian sebagai perupa yang hendak mencari objek dan ide menggambar.

Seni pahat pada dinding candi yang terbuat dari batu yang melukisan cerita atau kisah yang diambil dari kitab-kitab suci maupun sastra itu sangat memukaunya. Dalam batasan tentang relief yakni seni pahat yang biasanya menjadi hiasan di dinding-dinding bangunan bersejarah seperti candi, kuil, dan monumen, Yoes menyadari ternyata betapa semua yang tertera di sana selalu mempunyai maksud. Bahkan pesan. Tak ada sesuatu yang sekadar dipahat.

Andi Putranto, S.S., M.Sc., sebagai pengulas pameran, yang juga dosen pengajar di Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta itu juga dijelaskan bahwa relief sendiri merujuk kepada pahatan pada dinding, pagar, pintu gerbang dan hampir di seluruh bagian candi. Relief pada candi merupakan ekspresi seni dan religi yang mengandung makna simbolik.

Karya-karya lukisan yang dibuat memang mengangkat tema relief yang banyak dijumpai di candi-candi di Jawa, terutama. ”Ada relief kalamakara, padma, kurma, garudeya, dan purnakalasa memiliki makna simbolik yang penting bagi kehidupan manusia yang dicoba dipindahkan ke dalam kanvas lukisan karya beliau dengan harapan pesan tersebut dapat ditransfer kepada para pemerhati seni lukis sesuai dengan pemaknaan relief yang menjadi objek lukisan,” ujar kandidat doktor (S3) Ilmu Geografi Fakultas Geografi UGM (2019) itu.

Baca Juga :  Buat Pemudik, Ini Tips Berkendara Aman Saat Cuaca Hujan

Awalnya kekaguman itu dituangkan Yoes untuk memberikan sentuhan yang orisinal tentang khasanah cerira atau kisah dari Indonesia. Agar orang di luar Indonesia menemukan sesuatu yang arif untuk diambil maknanya dari karya perupa Indonesia. Semula Yoes melukisnya sebagai sebuah materi gambar yang menarik.

Tapi belakangan Yoes mendapati bahwa relief adalah sebuah pesan masa lampau yang harus disampaikan berulang-ulang dari generasi ke generasi selanjutnya.

Karena itu ketika merancang sebuah pameran tunggal, Yoes memanfaatkan pengalaman visual itu sebagai tema. Menjadi Nyala Api. Kali ini karya yang ditampilkan menggunakan media cat air di atas kertas.

Ada banyak sebab mengapa Yoes memilih berkarya dengan media tersebut. Pertama, inilah perwujudan rasa cintanya pada KOLCAI, Komunitas Lukis Cat Air Indonesia. Kedua, cat air adalah salah satu dari sekian media yang pernah dicoba Yoes. Sepanjang karier seni rupa yang mulai dicatatnya sejak 2010, Yoes juga telah berkarya dalam akrilik, cat minyak, pensil bahkan kopi, sebagai bahan berekspresi. Tak hanya di atas kanvas atau kertas, di atas kayu maupun tembok pun jadi.

Ketiga tentu saja menjadi tantangan yang menarik mengingat cat air adalah media yang sangat tidak mudah ditaklukkan. Apalagi untuk gaya dekoratif yang dia persembahkan dalam Nyala Api, detail dalam cat air membutuhkan ketelatenan yang lebih.

Tentang tema, sesuai kata yang dipakai, Nyala Api memang bagai sebuah sulutan yang cukup jelas dari Yoes. Untuk mengingatkan kembali para generasi muda  melalui visual tentang petuah luhur dari peninggalan leluhur kita di relief-relief. Sebagian besar Digambar Yoes setelah melihatnya langsung di beberapa candi.

Bagai nyala api yang membara, Yoes ingin 16 karyanya mampu menjadi pemantik bagi siapa saja -terutama generasi muda- untuk menengok masa silam. Bukan untuk kembali menjadi mundur dalam pemikiran, tapi justru berupaya untuk menggali lagi kearifan masa lampau yang dibawa oleh generasi sebelumnya melalui relief yang mereka tinggalkan.

Baca Juga :  Trending di Netflix, Ini Sinopsis Film Nowhere

Mengingat para muda yang cenderung tak menghargai warisan leluhur, maka karya-karyanya adalah titik tolak untuk berangkat menelusuri apa yang tersimpan sebagai kebijaksanaan. Lantas dibawa ke masa kini untuk dituangkan lagi menjadi pemikiran, perilaku, tuntunan, atau kebijaksaan yang mengawal perjalanan generasi ke masa depan dengan lebih baik. Yoes juga ingin karyanya merupakan penghubung yang menarik secara visual agar generasi muda lebih bisa menerimanya.

Karya-karya dengan judul yang bersumber dari kekayaan masa silam seperti Surya Garbhagriha atau Garudeya #1, #2, dan #3, Samudramantana, Candrasengkala, Tat Twan Asi, Cakrangga, Durburdi, Viva Vighneswara, atau Sudamala Durga, dihadirkan Yoes.

Selama enam bulan berkarya, lukisan untuk Nyala Api yang dibawa Yoes sebagai salam perdana pada publik seni rupa Yogyakarta itu boleh dibilang merupakan upaya reaktualisasi nilai-nilai masa silam. Buat Yoes, Nyala Api tak sekadar mengobarkan lagi cahaya masa lampau yang hampir lampus, tapi juga sekaligus merestorasi segala yang rumpang, yang remang, menjadi karya cemerlang.

“Lewat perpaduan permainan warna dari objek yang menjadi latar objek utama lukisan, Yoes mampu menegaskan objek utama yang ditonjolkan seolah-olah menjadi hidup dan sesuai dengan tema yaitu Nyala Api. Makna dari objek lukisan yang diambil dari relief-relief yang dapat dijumpai di bangunan-bangunan candi di Jawa masih dapat dilihat dengan jelas. Bahkan lebih jelas sekalipun diwujudkan dalam media lukisan,” tegas Andi Putranto. Sementara itu pameran dijadwalkan sampai dengan 2 Juli 2023.(tok)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News