Pakar Ekonomi Unair: Ekonomi Tumbuh, Pemerintah Diingatkan Masih Banyak Tantangan

oleh -639 Dilihat

KILASJATIM.COM, Surabaya – Capaian ekonomi Indonesia bisa dikatakan tumbuh positif. Ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,44 persen di Triwulan II 2022.

Meski positif, pemerintah diingatkan untuk tetap berhati-hati. Ini mengingat kondisi ekonomi dunia masih cukup bergejolak dan potensi inflasi terbilang tinggi.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Badri Munir Sukoco menilai, pertumbuhan yang terjadi menandakan mulai pulihnya ekonomi usai hantaman pandemi Covid-19. Tetapi, dia memprediksi pemulihan bakal berlangsung secara bertahap pada setiap sektor.

“Setiap sektor yang ada di dalam ekonomi kita pulihnya itu bertahap. Ada yang cepat, ada yang lambat,” ujar Badri dalam Focus Group Discussion (FGD) Economic Outlook 2023 yang digelar di Java Paragon Surabaya , Kamis (18/8/2022).

Badri mencontohkan pada kondisi yang terjadi di transportasi laut. Pulihnya sektor ini berjalan lambat lantaran terkena dampak langsung dari kondisi global dan menghambat percepatan ekspor.

“Transportasi laut yang sampai saat ini agak susah bergerak terutama ekspor-impor karena berbagai dampak global,” kata Badri.

Badri juga menyoroti pertumbuhan lini ekspor Indonesia. Dia menilai pidato Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR pada Rabu silam, yang menyatakan ekspor Indonesia meningkat. Hal itu perlu dibarengi dengan pengupayaan sumber ekonomi baru.

“Kita harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi yang baru,” jelasnya.

Selain itu, Badri juga memandang paparan Jokowi Rabu lalu menimbulkan optimisme terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Tetapi di saat yang sama, Jokowi juga mengajak semua pihak untuk tetap ‘Eling lan Waspodo’ (sadar dan waspada).

“Ini dilakukan karena sebelumnya kita tidak pernah menduga Rusia menyerang Ukraina, kita juga tidak tahu sebelumnya bahwa 40 persen gandum kita disuplai dari Ukraina,” terang Badri.

Namun demikian, Badri menilai Indonesia tetap harus optimistis ekonomi ke depan dapat tumbuh sesuai target. Ini mengingat sebanyak 60 hingga 65 persen perekonomian nasional ditopang oleh permintaan dalam negeri yang ternyata dapat dipenuhi dari komoditas domestik.

Baca Juga :  Libur Idul Adha 2023, Yuk Rek ke 5 Lokasi Wisata Kece di Jawa Timur Ini

Kondisi inilah, terang Badri, yang mampu menahan inflasi di Indonesia bertahan di level rendah. Berbeda dengan negara lain yang mengalami inflasi tinggi akibat permintaan domestik mereka tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.

“Indonesia inflasi juga naik, tapi yang paling penting adalah bagaimana dampaknya dan mengatasinya,” paparnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Kerjasama Antarlembaga Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Fitradjaja Purnama menilai perekonomian Indonesia sudah menggeliat. Namun demikian, kondisi ini belum bisa dikatakan normal atau kembali seperti sebelum pandemi Covid-19 melanda.

“Tetapi kita sudah bisa percaya diri, sudah bisa optimistis karena kita tumbuh. Berarti kita ada income, berarti kita punya daya beli bagus, kemampuan savingnya bagus, berarti kemampuan investasi juga bagus,” kata Fitra seraya mengingatkan saat ini perekonomian sedang dibayang-bayangi ancaman inflasi yang tinggi. Sehingga perputaran ekonomi harus dijalankan secara hati-hati.

Saat ini kondisi perekonomian memang menimbulkan optimisme yang tinggi. Tetapi, hal ini tidak boleh disikapi secara gegabah.

“Yang sudah dua tahun duitnya disimpan, itu tidak bisa tergesa-gesa duitnya diputar,” katanya.

Selain itu, Fitra juga mengingatkan adanya masalah lain yaitu maraknya impor barang konsumsi. Di 2021, nilai impor B-to-C (Business to Consument/produsen langsung ke konsumen) lewat e-commerce mencapai lebih dari Rp260 triliun.

Dari nilai tersebut, produsen dalam negeri hanya menempati porsi sekitar 6 persen lebih. Sehingga tidak berdampak besar pada pertumbuhan perekonomian nasional maupun daerah.

“Kita dibayang-bayangi pola impor konsumsi dan laju inflasi. Kalau impor untuk produksi, kita bisa lega. Tapi impor untuk konsumsi, tingkat daya konsumsi seperti ini, ini perlu diwaspadai,” jelasnya.

Tak hanya itu, Fitra juga mengingatkan tentang potensi krisis energi dan pangan. Krisis energi mungkin hanya terpantau lewat pemberitaan namun krisis pangan sudah mulai dirasakan dampaknya.

Baca Juga :  OJK Nilai Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Terjaga dan Tumbuh Kuat

Dicontohkan, adanya kabar bakal terjadinya kenaikan harga mie instan tiga kali lipat akibat pasokan gandum dari Ukraina tersendat. Ini merupakan pertanda bagaimana krisis pangan sudah tampak.

“Meskipun kemarin Menteri Perdagangan sudah menyatakan, nggak kok, enggak tiga kali lipat,” kata Fitra.

Sementara, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jawa Timur, Sumrambah, mendorong pemerintah segera menerapkan kebijakan di sektor pertanian, peternakan, maupun perikanan yang mendorong peningkatan produktivitas. Ini penting diterapkan mengingat potensi krisis pangan mulai terlihat.

Sumrambah mengungkapkan dari sektor pertanian terjadi penyusutan lahan yang cukup mengkhawatirkan. Data BPA 2012 mencatat, lahan pertanian di Indonesia tercatat seluas 8,4 hektare namun pada 2019, luasannya turun menjadi 7,4 hektare.

“Ketika lahan semakin sedikit, kita akan menghadapi krisis pangan,” urai Sumrambah seraya menegaskan penyelamatan lahan pertanian perlu segera dilakukan. Jika tidak, potensi penyusutan lahan pertanian menjadi non pertanian akan semakin besar.

“Kalau kita tetap seperti saat ini, dan tidak menyelematkan lahan pertanian maka pada 2045, lahan pertanian bisa menyusut jadi 6,3 juta ha. Sementara populasi penduduk semakin meningkat, sehingga berpotensi terjadi krisis pangan berkelanjutan,” jelasnya.

Untuk mengantisipasinya, pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Jatim perlu secara tegas menetapkan lahan sawah dilindungi. Selain itu, Pemprov Jatim perlu bekerjasama dengan pemerintah kabupaten kota untuk membangun kembali budaya pertanian.

“Karena tani adalah kultur, tani adalah budaya, serta sekolah pertanian harus dimunculkan kembali untuk meningkatkan SDM karena rata-rata petani berusia di atas 45 tahun ke atas jumlahnya 65 persen. Sementara yang muda tidak mau bekerja di pertanian,” pungkas Sumambrah. (kj2)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.