Ngawonggo Tempat Berkontemplasi Makan dan Ngopi Mengikuti

oleh -1586 Dilihat

Foto: Kilas Jatim/Tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Jam gawai menunjuk angka 08.17, disini serasa habis subuh. Sisa hujan semalam meninggalkan aroma segar, wangi daun kah atau tanah basah yang menguar. Entahlah.

Pintu bilik masih tertutup. Dua motor terparkir di halaman. Kata warga yang berpapasan, Jumat Legi (1/12/2023) Petirtaan Ngawonggo, Tajinan libur. Tapi sudah terlanjur janjian dengan Fajar Tajinan (Fajar nama orang, Tajinan nama wilayah).

Baiklah, mengabadikan moment pagi dan memotret sana-sini. Sampai segerombolan pelajar datang. Mencari pengelolah Ngawonggo. Suara berisiknya sampai di balik bilik. Mas Yasin, bangun dengan kantuk tertahan.

“Ada apa ini? Pagi-pagi di sini? Sekarang jam berapa?” laki-laki yang tampangnya mirip komposer Selamet Abdul Syukur berdiri dimuka kami.

Ia ladeni obrolan para bocah. Saya menepi di latar musholah. Sampai ia melambaikan tangan. Dan Fajar menyambut pertemuan pagi ini.

Cotek geni, ceret air diisi. Tak lama, aroma kopi menghujani penciuman. Pagi dan kopi, bersama mendung syahdu diawal bulan ini. Kami ngobrol apa saja dengan Mas Yasin.

Terutama tentang Tomboan yang bukan warung makan. Tapi sarana edukasi bagi pengunjung situs. Sebab sebagian pengunjung datang untuk makan atau ngopi. Padahal ada hal, ada bagian lebih penting yakni belajar sejarah, lingkungan dan menghargai sesama.

“Menikmati suasana, menenangkan hati dan pikiran yang sumpek. Agar kembali fresh. Sebenarnya begitu, kalau makan atau ngopi bagian dari sarana. Tapi kembali lagi, apa yang didapat sesuai niat, apa yang diinginkan ketika datang,” katanya.

Yang disampaikan Mas Yasin memang benar. Ketika mengunjungi tempat bersejarah, kita harus belajar. Juga petirtaan peninggalan era Mataram Kuno masa kepemimpinan Mpu Sindok ini.

Baca Juga :  Berakhirnya Drama COD Anggi-Fahmi dan Andriaman Lase

Dulu, tempat ini menjadi tempat pemandian para putri, sekaligus tempat ibadah. Maka tak heran jika bangun sekitar petirtaan didirikan mendekati asalnya. Dimana bilik tinggal, dapur, kamar mandi semuanya berjarak. Menjaga agar kelembapan udara.

Materi yang digunakan pun, mengambil dari alam. Seperti bambu yang tumbuh subur di sana. Begitu pula dengan batu bata, asli diproduksi warga setempat.

Begitupula dengan olahan makanan. Lebih mendekat pada alam, dengan tidak menyediakan menu hewani. Lebih pada tumbuhan, selada air, sawi, pakis, daun singkong, terong, jamur, daun pepaya yang tumbuh di sana. Juga olahan minuman, jahe, kencur, kunir semua diambil dari kebun sekitar patirtan.

Tidak ada menu hewan, bukan karena vegetarian. Tetapi mengacu pada zaman dulu, menu ayam hanya dijumpai pada hajatan atau tasyakuran. Untuk membedakan antara makan sehari-hari dan acara bersyukur kepada tuhan. Sekaligus menjaga keseimbangan, pola makan agar lebih sehat.

Mengenai tidak adanya tarif untuk makan-minum di sana. Cukup dengan mengisih kotak Asih, dimana pengunjung memberikan uang seikhlasnya. Sebagai bentuk saling menghargai.

“Alam sudah menyediakan, kita ambil seperlunya. Air pun kita ambil dari sumber mata air yang ada,” terangnya.

Keberadaan Tomboan Ngawonggo, yang ditemukan pada 2017 dan baru dibuka untuk umum pada 2020, menjadi contoh upaya kelestarian alam dan pemberdayaan ekonomi warga dapat berjalan beriringan.

Hampir semua wilayah Jawa Timur terdapat situs bersejarah. Alangkah menariknya bila upaya Mas Yasin dan warga Dusun Nanasan, Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang ini dapat diadopsi. Tanpa harus membuat ruko dan bangunan modern. Edukasi dan ekonomi warga terus berputar. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.