Kritik dan Mengapa Persoalan Tak Selesai Hanya dengan Menghukum Yuran Fernandez

oleh -1227 Dilihat

Oleh: Eri Irawan
Penggemar dan penulis sepak bola

“Sepak bola di Indonesia hanya candaan. Makanya level dan korupsinya akan tetap sama. Jika Anda ingin menghasilkan uang, Anda bisa datang ke Indonesia. Jika Anda ingin bermain sepak bola serius, menjauhlah dari Indonesia.”

Yuran Fernandez, kapten klub PSM Makassar, menuliskan itu di fitur story akun Instagram miliknya, usai pertandingan yang dimenangi PSS Sleman 3-1.

Menyebut “sepak bola Indonesia hanya candaan” ternyata sangat berbahaya, terutama bagi pemain sepak bola seperti Yuran. Komite Disiplin PSSI menjatuhinya hukuman 12 bulan larangan beraktivitas di sepak bola Indonesia, dan denda Rp 25 juta.

Sebagaimana di Liga Primer Inggris, pemain maupun pelatih dan ofisial dilarang memberikan kritik maupun komentar negatif terhadap perangkat pertandingan usai peluit panjang dibunyikan. Aturan memberikan ruang protes bagi tim atau pemain yang merasa dirugikan dengan mengajukan surat resmi setelah pertandingan berakhir.

Yuran melanggar aturan memberikan kritik. Namun sanksi berupa larangan beraktivitas dalam sepak bola Indonesia selama satu tahun jelas merugikan klub dan pemain. Terasa sangat berlebihan. Begitu terkesan emosional. Hukuman selama itu biasanya diberikan kepada pemain yang melakukan pelanggaran keras yang membahayakan pemain lawan, seperti tekel secara brutal.

Jika pun ada pemain maupun pelatih yang dihukum berat karena pernyataan mereka, seharusnya itu dikarenakan ada unsur rasisme dalam pernyataannya.

Namun kita tidak melihat unsur diskriminasi rasisme dalam pernyataan Yuran. Pernyataannya hanya luapan kekesalan terhadap keputusan-keputusan wasit Nendi Rohaendi dan VAR (Video Assistant Referee).

Sepanjang Liga 1 berlangsung musim ini, sejumlah keputusan kontroversial memang masih kerap dimunculkan wasit. Namun tidak jelas bagaimana hasil penyelidikan Komisi Disiplin terhadao wasit-wasit yang dipersoalkan. Publik hanya melihat kontroversi senantiasa berulang.

Baca Juga :  La Nyalla: Perang Dagang Amerika Dengan Tiongkok, Tak Perlu Dirisaukan

Andik Vermansyah, eks pemain Persebaya yang kini bermain untuk Persiraja, juga mengungkapkan kekecewaannya di Liga 2. “Jadi pemain bola pro dari 2008 sampai sekarang, main bola kayak jadi wayang. @pt_lib @pssi @erickthohir, liga bobrok,” tulis Andik di Instagram pribadinya.

Berulangnya kontroversi keputusan wasit di lapangan membuat sepak bola Indonesia tak ubahnya mitos Sisifus: dikutuk untuk melakukan perbuatan sia-sia. Selalu terporosok di lubang yang sama.

Yuran sebenarnya tak sendiri. Banyak orang yang sebenarnya kesal dengan sepak bola Indonesia. Sejumlah pelatih melontarkan kritik, kendati tak sekeras Yuran. Namun substansi isinya kurang lebih sama: perlu ada pembenahan besar-besaran dalam sepak bola Indonesia. Konflik kepentingan karena peran ganda sebagai petinggi PSSI, petinggi operator liga, dan pemilik/pengelola klub juga menjadi sorotan.

Tim nasional kita memang sedang terbang tinggi dengan sederet atlet pemain naturalisasi. Namun itu bukan berarti PSSI melupakan pembenahan di liga domestik, terutama perangkat pertandingan. Kekecewaan terhadap perangkat pertandingan yang terus-menerus jangan sampai memunculkan krisis kepercayaan terhadap sepak bola dalam negeri.

Tim nasional tak selamanya bisa diisi pemain-pemain naturalisasi. Tim nasional pada akhirnya harus melihat ke kampung halaman sendiri, ke lapangan-lapangan hijau, di stadion-stadion, menengok para pemain berkewarganegaraan Indonesia sejak lahir. Dan pemain-pemain yang baik hanya bisa bisa hadir dalam sebuah kompetisi yang sehat dan fair. Itu yang seharusnya menjadi perhatian PSSI, dan persoalan tak bisa diselesaikan hanya dengan menghukum Yuran. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.