Pengamat otomotif, I Komang Ferry
KILASJATIM.COM, Surabaya – Harga minyak mentah dunia semakin melambung sejak pertempuran Rusia – Ukraina terus berlanjut. Angkanya berkisar USD 115 per barrel. Dampaknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pun sewaktu-waktu bisa naik.
Masyarakat Indonesia yang amat sensitif harga tentu akan bergejolak. Namun pengamat otomotif, I Komang Ferry mengingatkan jika masyarakat pelanggan BBM yang sudah bagus seperti Pertamax beralih pada Pertalite yang sebenarnya tidak lagi sesuai dengan spesifikasi mesin kendaraan terbaru karena oktannya yang lebih rendah akan merusak kinerja mesin.
“Hari ini saja harga Pertamax Turbo sudah Rp 14 ribuan tetapi harga Pertamax masih Rp 9 ribuan. Saya melihat ada upaya pemerintah menahan harga tetapi sampai kapan pemerintah “membakar” uang. Lama-lama akan jebol juga,” beber Ketua Bidang Olahraga Mobil Ikatan Motor Indonesia (IMI) Jatim itu.
Komang menyebutkan efek jangka pendek perang 2 negara ini akan membuat pemerintah tetap akan menaikkan harga Pertamax, karena mustahil akan tetap menopang harga ditengah harga minyak dunia yang semakin menggila. Menurut Komang, beban negara sudah terlalu berat, disaat pandemi menguras uang negara kini dampak ekonomi perang pun mulai membebani APBN.
“Tetapi ramai-ramai beralih ke Pertalite juga tidak benar, karena seperti yang saya katakan, spesifikasi kendaraan saat ini rata-rata harus beroktan 92. Jadi jika mobil high end ketika tak lagi menggunakan BBM oktan tinggi maka efek jangka panjangnya bisa merusak kinerja mesin. Kalau mesin sudah rusak biaya perawatan pun jadi berlipat,” paparnya.
Ketakutan lainnya adalah saat minyak dunia terus naik, maka harga suku cadang otomotif pun pasti akan ikut naik. Sehingga mobil sering masuk bengkel sedangkan harga spare part pun melejit. Pemilik mobil akan merogoh kantongnya lebih dalam lagi.
“Sehingga dikhawatirkan solusi jangka pendek mereka nantinya adalah tetap konsumsi BBM dengan oktan rendah. Dan menahan pembelian mobil baru sambil melihat situasi perang kedua negara. Tentu hal tersebut akan mengganggu perekonomian,” usulnya.
Dikatakan, masyarakat juga harus mulai mengubah pola pikir berhitungnya. Jika saat ini Pertamax masih di harga Rp 9 ribuan artinya BBM non subsidi masih murah dibandingkan air mineral. Sebab air mineral dalam kemasan 1 liter dengan sedikit upaya produksi dijual sekitar Rp 6 ribuan bahkan lebih tergantung merk.
“Sedangkan BBM harus melewati proses penambangan yang butuh investasi besar, pengolahan di kilang minyak yang bertahap dihargai Rp 9 ribuan. Jika air mineral saja mahal tak ada yang protes, kenapa BBM naik Rp 500 saja langsung demo. Pola pikir kita harus diubah agar tidak menjadi psikologisnya tidak panik duluan,” urai Komang.
Sekoci selanjutnya yang harus disiapkan masyarakat saat BBM melambung tinggi adalah mengoptimalkan penggunaan transportasi massal seperti Surabaya Bus. Sedangkan untuk pedesaan bisa mengandalkan teknologi sepeda listrik yang kini harganya pun semakin terjangkau.
“Jangka panjangnya pemerintah harus lebih gencar mempromosikan penggunaan mobil hybrid dimana di tahun 2030 dunia sudah beranjak ke teknologi listrik untuk kendaraan roda empat. Ditambah Indonesia punya potensi nikel berlimpah sebagai salah satu bahan baku pembuat baterai untuk mobil listrik,” tandasnya.
Komang meminta Indonesia harus menggalakkan mobil listrik agar lebih cepat terlepas dari ketergantungan pada bahan bakar minyak. Dan segera beralih ke energi listrik yang sumberdaya penghasilnya berlimpah. (kj2)