Buku Perempuan Penjaga Hutan, Soroti Perjuangan Woman Champion di 3 Provinsi

oleh -269 Dilihat

KILASJATIM.COM, Surabaya – Buku Perempuan Penjaga Hutan yang merekam gerakan women champion di bidang perhutanan sosial di 3 provinsi, yakni Aceh Barat, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah, diluncurkan pada Jumat (10/11/2023), di Hotel Santika Premier Surabaya.

Buku ini disusun oleh Agung Putu Iskandar dari Agna Komunika dan sejumlah penulis dengan pendampingan dari civil society organization (CSO) yang selama ini bergerak bersama para perempuan penjaga hutan atau yang disebut sebagai women champion.

Tiga perempuan yang menjadi pemimpin gerakan di 3 provinsi tersebut bercerita bagaimana perjuangan mereka menjalankan perhutanan sosial di wilayahnya. Ada Rita Wati, Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama, Desa Pal Delapan, Bengkulu. Lalu Velin, Sekretaris Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Masanang Himbiti, Rano, Sulawesi Tengah.

Dan Masdalina, Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru, Aceh. Bincang-bincang buku dilakukan bersama dua narasumber Pinky Saptandari, seorang gender specialist dan dosen Prodi Antropologi FISIP UNAIR Mujtaba Hamdi, Direktur Wahid Foundation.

Dari ketiga perempuan penjaga hutan itu diketahui sejumlah kelompok perempuan menginisiasi pengelolaan lahan taman nasional melalui skema perhutanan sosial (perhutsos). Gerakan para perempuan tersebut berhasil menciptakan berbagai dampak mulai dari pemulihan lahan hutan dari kerusakan lingkungan hingga pemberdayaan ekonomi. Kisah kelompok perempuan mengawali perhutsos tersebut terekam dalam buku berjudul Perempuan Penjaga Hutan.

Acara yang dimoderatori oleh Heti Palestina Yunani, yang juga menjadi editor dalam buku tersebut, dimulai dengan paparan Rita Wati merintis perhutsos di desanya. Sepanjang hidup Rita Wati dan warga desa, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah kawasan terlarang. Pengelola TNKS yang mereka kenal sebagai polisi hutan melarang warga menggarap lahan di kawasan hutan konservasi itu.

Baca Juga :  Bandara Juanda Layani 462.720 Penumpang Domestik dan 93.344 Internasional Selama Nataru

Selama ini hutan telah menopang kehidupan masyarakat desa. Namun, masyarakat tak bisa bebas mengakses karena tidak boleh ada kegiatan apa pun di taman nasional. Rita lantas membangun komunikasi dengan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS) yang menaungi kawasannya. Dengan pendampingan dari civil society organization (CSO) LivE melalui berbagai pengorganisasian masyarakat, Rita akhirnya berani menemui pihak BBTNKS.

Dia bertanya apakah lahan hutan dalam wilayah taman nasional bisa dia kelola. “Dari sana akhirnya kami memiliki akses untuk melakukan aktivitas pemberdayaan ekonomi di sana,” katanya.

Berbeda dengan Rita, kisah Donsri mengelola hutan diawali dengan relasi yang tidak harmonis dengan petugas BBTNKS. Beberapa kali Donsri harus bersembunyi setiap kali petugas melakukan patroli. Pernah dia bersembunyi dari petugas justru membuatnya bertemu dengan ular besar.

Belum lagi petugas menemukan lahan garapan mereka di hutan, lahan tersebut akan dirusak. Padahal, sekarang sudah ada skema bagi masyarakat untuk bisa mengelola hutan sekaligus menjaga kelestariannya. Meski Donsri tidak tampil dalam peluncuran buku tersebut, kisahnya tertulis di dalamnya.

Yang menarik, kisah sukses pengelolaan perhutsos dalam buku tersebut hampir semuanya dilakukan oleh kelompok perempuan. Bahkan, di Damaran Baru, Aceh Barat, para perempuan membentuk ranger alias kelompok patroli penjaga hutan yang semuanya adalah perempuan di tengah budaya patriarki yang kuat Aceh. “Kalau bapak-bapak biasa kerja dengan otot, kalau kita perempuan dengan otak,” kata Masdalina disambut tawa para hadirin.

Lain halnya dengan Velin. Di Desa Rano, Palu, perhutsos sudah mampu memiliki kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Kelompok tersebut memberdayakan masyarakat melalui pengolahan minyak kelapa. Padahal, Velin mengawali melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat di usia yang masih sangat muda. Belasan tahun. Ditambah dirinya sebagai penyandang disabilitas, tidak banyak masyarakat yang mau mengikuti jejaknya.

Baca Juga :  Korban Kebijakan Bupati Mojokerto Mulai Disidang

“Tapi, saat ini masyarakat sudah bisa memiliki pendapatan dari aktivitas ini. Dari awalnya diremehkan, akhirnya mereka percaya bahwa masyarakat bisa melakukannya. Dan, ini tanpa harus melanggar hukum atau kucing-kucingan dengan petugas,” katanya.

Mujtaba Hamdi dari Wahid Foundation mengapresiasi buku tersebut. Menurut dia, buku ini masih merekam sebatas aktivitas perempuan pejuang atau woman champion di tiga provinsi. “Yang hadir dalam kongres ini ada 14 provinsi. Bagaimana jika ada 14 kisah yang berbeda dari masing-masing provinsi,” katanya.

Selain itu, kata Mujtaba, buku tersebut juga bisa dilakukan pendekatan isu, tidak sekadar kewilayahan. Misalnya perempuan Aceh yang kerap disindir karena profesinya sebagai guru ngaji tapi rela keluar masuk hutan. “Situasi yang sama saya yakin juga terjadi di daerah lain. Bagaimana agama dihubungkan dengan lingkungan hidup. Ternyata, ada masyarakat yang menentang,” katanya.

“Acara peluncuran itu berlangsung di tengah acara Konferensi dan Kongres Perempuan dan Generasi Muda Penjaga Hutan; Merawat Hutan, Memperkuat
Kesetaraan, dan Menjaga Ketahanan Pangan Lokal, di Surabaya, 7-10 November 2023,” kata ketua panitia Ike Sulistiowati, Direktur Yayasan PUPUK Surabaya.

Dalam acara yang digelar oleh PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil) itu dihadiri ratusan peserta dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Gender Focal Point (GFP), women champion dan youth champion yang berasal dari 14 provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua. (nic)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.