KILASJATIM.COM, SURABAYA – Vena Saskia Prima Saffanah adalah satu diantara Dokter yang Kamis (20/6/2024) dilantik dan mengikuti sumpah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). Menariknya, Vena menegaskan bahwa sebagai Dokter wajib memahami Bahasa Isyarat. Bukan tanpa alasan, karena di tengah masyarakat terdapat mereka yang bisu dan tuli.
Bagaimana pasien bisu dan tuli bisa menyampaikan keluhan sakitnya kepada dokter jika untuk berkomunikasi saja sudah mengalami kendala, terkait dengan ketidakmampuan dan tidak dipahaminya bahasa isyarat, yang biasa digunakan mereka yang bisu dan tuli. Biasanya, pasien bisu dan tuli ini mengajak perantara atau teman agar bisa berkomunikasi dengan dokter.
Lalu, bagaimana jika penyandang bisu dan tuli tersebut, sendirian dan mengalami kecelakaan? Mengertikah dokter yang akan menanganinya? Bagaimana cara dokter kemudian berkomunikasi dengan pasien bisu tuli tersebut? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang memotivasi Vena Saskia Prima Saffanah, untuk belajar dan memahami bahasa isyarat.
“Saya bersama kakak dan rekan lainnnya belajar bahasa isyarat untuk kelak bisa memberikan pelayanan lebih pada pasien. Dalam pengamatan saya memang jarang ada pasien bisu-tuli berobat ke rumah sakit, kebanyakan dari mereka berupaya mengobati sendiri. Hambatan komunikasi salah satu penyebabnya,” terang Vena.
Kata Vena, saat menjalani koas bersama sang kakak, Vera Saskia Prima Salsabila, yang dilantik dan diambil sumpahnya lebih dahulu pada Februari 2024 lalu, bertemu dengan seorang bisu tuli yang sedang memeriksakan kandungannya di rumah sakit. Ketika itu Vena memperhatikan betapa sulitnya ia berkomunikasi. Demikian juga ketika ia menjalani stase di UGD, ada korban kecelakaan yang tidak lancar berkomunikasi karena bisu tuli.
“Saya berpikir semestinya layanan kesehatan untuk semua orang, tapi karena si pasien penyandang bisu tuli, maka ia memperoleh layanan kesehatan minimal. Penyebabnya karena tidak semua dokter paham dan mengerti bentuk komunikasi bahasa isyarat. Itulah yang mendorong saya untuk bisa memiliki keterampilan paham dan mengerti bahasa isyarat,” kata alumni SMA Darul Ulum 2 Jombang ini.
Alhamdulillah, lanjut anak keempat dari pasangan ayah H. Ika Yulis Priyadi dan ibu Faidatul Himmah ini menambahkan, jika dirinya kini sudah lulus level satu untuk memahami bahasa isyarat, sehingga mengerti tentang apa yang diderita pasien jika kebetulan penyandang bisu tuli menggunakan bahasa isyarat. “Saya berharap jika banyak dokter dan tenaga kesehatan yang mengerti dan memahami bahasa isyarat tidak ada lagi diskriminasi diterima pasien penyandang bisu-tuli,” ujar Vena yang ingin mengambil spesialis mata.
Tentang minatnya untuk belajar bahasa isyarat, dokter kelahiran Sidoarjo, 1 November 1998 ini mengungkapkan, diantara rekan-rekannya sesama mahasiswa kedokteran, kini juga banyak yang belajar bahasa isyarat, bukan karena trend dan ikut-ikutan, tapi mereka lebih memahami bahwa layanan kesehatan adalah hak bagi semua orang, tanpa kecuali. “Saya belajar bahasa isyarat bersama kakak dan teman-teman ini juga awalnya diberikan wawasan tentang hak bagi seorang pasien,” papar Vena.
Soal motivasinya dan saudara kembarnya yang sama-sama mengambil kedokteran, Vena menjelaskan, bahwa dirinya ingin mengikuti jejak sang kakak pertama, yang kini menyandang dokter spesialis bedah. “Kakak pertama dan keluarga yang menyemangati saya dan Vera mengambil studi di fakultas kedokteran. Sedang pilihan masuk ke Unusa atas pertimbangan nenek,” tutup Vena.(tok)