Letupan Itu Menandai Pembubaran Aksi Massa

oleh -158 Dilihat

Malang- Mengenakan kostum hitam seperti dress code yang disepakati. Berdiri disamping Gedung DPRD Kota Malang yang ramai dengan teriakan, petasan dan kembang api, Minggu (23/3/2025).

Tak lama suara pecahan kaca dan sumpah serapah. Asap mulai mengepul dari bangunan kecil di sudut komplek kantor legislatif. Empat mobil damkar melaju kencang hendak memadamkan api yang belum lagi menyala.

Hati saya bergetar, apakah akan terjadi kerusuhan? Api dari bangunan yang awalnya saya kira pos keamanan, ternyata gudang kardus segera menyala dan di padam seketika. Polisi memukul mundur peserta demo “Malang Turun Kejalan”.

Hampir pukul 18.30 massa penolak RUU TNI makin memanas, sudut bangunan utara lantai dua mulai menyala meski tak lama, akibat lemparan bom molotov yang entah dari mana asalnya. Bersama suara letupan ke udara, ratusan polisi mengejar, memukuli peserta aksi. Massa berlari ke segala arah.

Saya yang berada di taman jalan kembar Kertanegara, tertegun. Seorang kawan mengajak boncengan tiga segera meninggalkan lokasi. Tak bisa, saya masih melihat seorang perempuan yang lehernya dipiting pria kekar berbaju loreng. Disusul dua perempuan saling berpelukan menangis memegangi kepalanya yang kena pentungan.

“Peserta aksi ya,?” hardik seorang petugas berbadan kekar. Lebih besar dari badan saya yang sudah melar.

“Bukan Pak,”

“Sedang apa disini? Ini bukan tontonan. Pergi!”

Muka garang, saya mencoba tenang saat mulai mencekam. Saya keluarkan bontotan dari ibu, nasi telur dadar, oseng sawi untuk buka puasa. Saya sampaikan, ingin makan taman Tugu. Ia pun berlalu sambil membawa tameng dan pukulan.

Baru bernafas lega. Datang lagi yang berbaju loreng. Mengusir, membentak agar segera pergi. Berulang kali mereka melihat saya dari kepala sampai sepatu. Terbaca tanda tanya, mungkin merek berpikir ada ibu-ibu ditengah aksi massa.

Baca Juga :  Persebaya Ditahan Imbang Semen Padang, Gagal Menjauh di Puncak Klasemen

Sekali lagi ia mengeluarkan nada tinggi dan mengacungkan jari segera pergi. Kali ini saya mengalah. Bersamaan saya melihat seorang peserta aksi diseret dua petugas, sambil ditendang dan dipukul. Tidak menyangka jika itu, Alfaizi kawan diskusi perpustakaan jalanan. Sampai hari ini ia belum kembali, dari BAP nya diperiksa karena vandalisme. Bersama Rizky dn Benedictus Beni.

Setengah delapan, di bangku tepi jalan. Saya buka bekal. Rasnya ini makanan terenak yang disiapkan ibu. Saya membukanya dengan gemetar. Hanya sesuap, membuat kenyang. Setelah menyaksikan aksi pengejaran demonstran. Seumur hidup, selama ikut aksi baru kali ini ibu menyediakan bekal.

Zaman demo 1998, ibu mengunci pintu rumah lantai dua kamar saya. Tidak kurang akal, saya keluar rumah lewat pintu bawah, turun lewat sebilah bambu, waktu itu tangga rumah kami belum jadi. (TQI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News