KILASJATIM, Malang – Tujuh puluh enam tahun silam, Bapak Republik itu dieksekusi dalam hening dan pengepungan, oleh tentara Republik yang ia perjuangkan. Tak seorang pun mengaku tahu persis bagimana penembakan dilakukan, makamnya ditemukan beberapa waktu kemudian, tak jauh dari aliran sungai di Desa Selopanggung, Kediri. Ia adalah Tan Malaka.
Mengenang kepergiannya, Komunitas Sabtu Membaca, di Taman Slamet mengadakan pembacaan ulang atas naskah “Naar De Republiek Indonesia” atau Menuju Republik Indonesia. Sebuh buku kecil yang ditulis Malaka pada April 1925 di Canton, menyampaikan dasar pikiran berdirinya Republik Indonesia yang pro rakyat.
Dari pandangan politik, ekonomi, pendidikan, hukum, militer, kebangkitan industri, kebudayaan, urusan keagamaan, sarana transportasi dan masih banyak lagi yang seluruhnya berkeadilan sosial. Bertujuan untuk memenuhi hajat hidup rakyat Indonesia.
Naskah tersebut dibaca secara bergiliran oleh peserta diskusi yang hadir. Serta membahasnya bersama. Saling menjelaskan apa yang disampaikan penulis.
Salah satu petikan penggalan teks yang dibaca bergantian, “Jika setiap orang Jawa meludah ke tanah, maka mati tenggelamlah orang-orang Belanda”.Karenanya juga akn dibicarakan cara memperbaiki keadaan ekonomi rakyat. Bersamaan dengan itu juga akan dirundingkan kemungkinan memberi hak-hak politik lebih banyak kepada golongan orang Indonesia,”.
“Apa yang ditulis Malaka waktu itu sama dengan yang kita alami sekarang. Bagimana kaum borjuis menguasai modal. Apakah ia melakukan perjalanan lorong waktu, hingga mengetahui apa yang akan terjadi,” kata Upi salah seorang peserta diskusi, Sabtu (22/2/2025).
Kekaguman pada Malaka bukan hanya kejeniusan dalam berpikir dan menuangkan ide tulisan. Juga kesadaran untuk membebaskan negerinya dari penjajahan. Sekali pun ia dalam pelarian diluar negeri.
“Ya, pada tahun itu ia sudah punya lompatan pemikiran jauh di atas manusia seangkatannya. Sayang ia tidak mendapat di negaranya sendiri,” kata Cak Hariyono yang biasa disapa Cak Pendek.
Membicarakan Malaka membuat kita terkagum-kagum. Dengan segala kecerdasan yang dimiliki. Namun semua berakhir dengan keprihatinan bagimana, manusia sepandai ia harus mati diujung bedil tentara republik yang ia bangun.
Menurut peneliti asal Universitas Amsterdam, Harry A. Poeze, menyampaikan yang menangkap dan menembak mati Ibrahim Datuk Tan Malaka, pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan TNI, dibawah pimpinan Letnan II Soekotjo (pernah jadi Wali Kota Surabaya). Batalyon tersebut di bawah komando Brigade S yang panglimanya adalah Letkol Soerachmad, dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Sesuai Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
Perjalanan Malaka juga dapat dibaca dalam novel sejarah Pacar Merah Indonesia, Tan Malaka: Petualangan Buron Polisi Rahasia Kolonial, yang ditulis Mati Mona. (TQI)