Oleh: Eri Irawan,
Penulis dan penggemar sepak bola
Waktu sudah menunjukkan menit ke-88. Persebaya sudah unggul 1-0 atas Madura United dalam pertandingan pekan ke-29 di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, 20 April 2025. Namun pertandingan masih jauh dari kata akhir.
Pergerakan para pemain Madura United masih sangat membahayakan gawang Persebaya. Mereka pada titik “point of no return”. Harus balik ke Madura dengan bawa tiga poin jika ingin menjauhi zona degradasi.
Di tengah tekanan Madura United terhadap Persebaya yang berlaga hanya dengan sepuluh pemain karena Slavko Damjanovic dikeluarkan dari lapangan, Dejan Tumbas menerobos pertahanan lawan.
Dalam kondisi kelelahan, Tumbas berebut bola dengan Jordy Wehrmann dan terjatuh. Tumbas dalam posisi terguling, dan lutut Wehrmann menghantam bagian kepala Tumbas dengan keras. Darah mengucur.
Luka dan darah menunjukkan kerelaan untuk berkorban. Dan itu membuat setiap pengorbanan mesti dihargai. Ada nilai-nilai kebajikan dan heroisme di sana.
Bayangkan saja. Coach Paul Munster sudah hendak mengganti Tumbas karena cedera itu. Namun Tumbas menampik. Penolakan yang berisiko. Bukan saja bagi kondisi kesehatan Tumbas, namun juga kondisi tim.
Dengan cedera seperti itu, Tumbas bisa jadi tak akan bermain maksimal. Dengan kondisi diperkuat sepuluh pemain dan sedang mempertahankan keunggulan dalam waktu tersisa, kenekatan Tumbas bisa merugikan Persebaya jika tak bisa bermain optimal. Dia berpotensi menjadi titik lemah Persebaya.
Namun Tumbas membuktikan sebaliknya dan menepis semua keraguan. Arti kata “Tumbas”dalam bahasa Jawa adalah “beli”. Dan di lapangan, pemain berusia 25 tahun asal Serbia itu menunjukkan makna ‘Lu jual, gue beli’. “Los dol, tak tumbas e kene’.
Dalam keadaan kepala terluka dan harus dibalut perban, Tumbas bermain trengginas dan ngosek. Dia berlari. Merebut bola. Menghadang pemain lawan. Apapun dilakukannya untuk mempertahankan keunggulan Persebaya.
Dan dia berhasil. Saat wasit meniupkan peluit akhir, terlihat Tumbas sangat emosional berteriak: Wani!
Seusai laga, Tumbas dilarikan ke rumah sakit. “Dia benturan di kepala, hingga mendapatkan jahitan. Sempat terdiagnosa cedera otak sedang, karena sempat mengalami nyeri kepala hebat dan sempat blank saat pertandingan,” kata dokter tim Persebaya, dr Ahmad Ridhoi, saya kutip dari website Persebaya.
Kita bersyukur Tumbas dalam kondisi baik-baik saja. “Setelah observasi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Alhamdulilh semua baik-baik saja, tidak ada nyeri kepala berlanjut, pandangan jelas, dan tidak ada muntah,” jelas dr Ahmad Ridhoi.

Tak butuh waktu lama seusai laga, Bonek segera mengidentifikasi Tumbas dengan sosok “Wong Mangap”, sebuah logo lelaki berteriak bikinan Mister Muhtar, illustrator Koran Jawa Pos, yang sangat ikonik dalam mewarnai sejarah perjalanan Persebaya—versi awalnya dirilis pada 1987 dalam gambar hitam putih.
Publik seperti menemukan makna keberanian dan pantang menyerah khas arek Suroboyo pada sosok Tumbas.
Mentalitas ini mirip dengan mentalitas orang Balkan, tempat asal Tumbas. Sebuah mentalitas yang terbentuk oleh sejarah yang kompleks dan dihadapkan banyak kesulitan, yang menumbuhkan ikatan keluarga yang kuat, daya tahan, dan kebanggaan kultural.
Sejarah sepak bola menunjukkan bagaimana klub seperti Red Star Beograd yang berasal dari kawasan Balkan berhasil menjadi kuda hitam di Eropa dengan mentalitas itu. Mereka menjuarai Piala Champions dengan menaklukkan Marseille di final tahun 1991. Dan sepanjang sejarah Piala Eropa, hanya dua klub asal Balkan yang berhasil meraih trofi tertinggi antarklub itu, yakni Red Star dan Steuau Bucharest.
Tumbas mengingatkan orang pada ucapan Dan Gable, mantan pegulat Amerika Serikat.
“Gold medals aren’t really made of gold. They’re made of sweat, determination, and a hard-to-find alloy called guts.”
Tumbas menunjukkan pada semua orang bahwa kemenangan terbuat dari cucuran keringat, determinasi, dan nyali. Salam satu Nyali. WANi! (*)