Speak Up or Keep Silent?

oleh -1929 Dilihat

By: Esther Marliana – STR

Mahasiswa Magister Sains Psikologi – Ubaya

 

Dalam dunia pendidikan, sebagai seorang guru, kita berhadapan dan mengajar berbagai macam kemampuan belajar siswa. Dari yang mudah mengerti sampai yang mengalami kesulitan belajar atau berkebutuhan khusus. Siswa dengan kesulitan dan kemampuan intelektual khusus tersebut selanjutnya disebut dengan istilah “Slow learner” atau lambat belajar. Secara fisik, siswa tersebut tidak mempunyai perbedaan dari anak-anak lainnya. Namun pada saat mengerjakan tugas atau dalam mengikuti pembelajaran di kelas, mereka mendapatkan kesulitan, bahkan sampai tidak naik kelas. Menurut Dewi Astuti (2011), Slow learner atau anak lambat belajar adalah anak-anak yang mempunyai tingkat kecerdasan intelektual (IQ) sekitar 75 – 90 (dengan kualifikasi dibawah rata-rata) sehingga kemampuan dan prestasi akademiknya juga rendah dibandingkan dengan siswa yang lainnya. Terdapat 5 ciri khas anak-anak slow learners yang membedakan mereka dari siswa normal lainnya yaitu dalam hal “Kognitif, Bahasa, Auditori-Persertual, Visual-Motor dan Sosial-Emosional” (Latifah, A. N, 2023.)

Eh, si A itu kok tulalit ya kalau aku ajak ngomong?”, atau “Ih… gitu aja ga bisa! Dasar lemot sih kamu.” Ini adalah beberapa ungkapan bernada negatif yang sering terdengar secara langsung atau tidak langsung, dan diungkapkan oleh teman atau lingkungan dimana anak lambat belajar berada. Stigma dan sebutan negatif tersebut, membuat orang tua dari slow learners merasa malu atau tidak menerima keadaan mempunyai anak slow learners, bahkan beranggapan jika anak mereka hanya sedang tidak bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan mental/usia mereka. Stigma negatif yang diterima dari masyarakat menjadi salah satu penyebab dari sikap penolakan orang tua terhadap kondisi anak (Rahayu, H. G., Warsono, H., Kurniati, R., & Purnaweni, H, 2023).

Adanya stigma negatif yang melekat pada diri anak slow learners dari lingkungan, membuat orang tua dari siswa tersebut cenderung bersikap defensif jika mereka mendapat masukan dari guru, terkait dengan perkembangan siswa di sekolah. Seperti yang ditayangkan pada film komedi baru di media masa Youtube, pada tanggal 20 Nov, 2012 di Teachers on TV Land tentang “Parent-Teacher Conference | Scared to Speak Up | Teachers on TV Land”. Komedi baru ini didasarkan pada serial web yang dibuat oleh Katydids dan diproduseri eksekutif oleh Alison Brie, Ian Roberts, dan Jay Martel. Film tersebut menampilkan adegan tentang pertemuan rutin seorang guru dan sepasang orang tua siswa.  Pada saat guru wanita tersebut memberikan laporan perkembangan siswa terkait dengan kekurangannya, orang tua siswa (ibu) memberikan suatu sikap defensif dengan menolak laporan perkembangan anaknya karena ia (ibu) merasa jika anaknya cukup mampu dalam hal tertentu yang disebutkan. Bahkan ibu tersebut mengatakan jika ia lebih mengerti tentang kemampuan anaknya karena ia juga seorang psikiater yang secara tidak langsung berkata jika ia memandang rendah kemampuan dari guru tersebut. Akan tetapi, di akhir cerita di tampilkan adegan percakapan dimana guru tersebut harus berani berbicara dan menyakinkan orang tua tetang peran seorang guru di sekolah dalam mendidik dan memperhatikan pertumbuhan siswa.

Baca Juga :  Libur Sekolah, Citilink Beri Diskon Tiket Pesawat 50% untuk Penerbangan Domestik

Berdasarkan alur cerita film komedi tersebut, kita akan mendapati suatu fakta dalam kehidupan pendidikan yaitu komunikasi antara orang tua dan guru, terutama dalam hal penyampaian perkembangan siswa, tidaklah mudah. Hubungan komunikasi antara guru dan orang tua diibaratkan seperti musuh yang alami (natural enemy) menurut Roper, 1977. Setiap pihak mempunyai pemikiran dan ego yang benar menurut sudut pandang masing-masing. Sebuah pertanyaan besar untuk kita semua, Mengapa proses komunikasi antara orang tua dan guru tidak mudah dan selalu mendapat hambatan? Berikut adalah beberapa penjelasannya:

  1. Adanya sikap defensive dari orang tua

Pada saat orang tua mendapat masukan tentang perkembangan anak mereka yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, maka sifat alami dari diri orang tua untuk bertahan (defense) akan secara alami keluar. Seperti yang di sampaikan oleh Karen D. Horney dalam bukunya, Our Inner Conflicts (1946), yang menyebutkan tentang teori neurotic defense, yaitu cara seseorang bergerak untuk mengatasi kecemasan dengan bergerak melawan orang lain ketika melihat orang lain sebagai musuhnya. Dalam film komedi ini, sikap defense dilakukan karena adanya stigma atau judgement terhadap anaknya, yang menyatakan bahwa anaknya tidak mampu mengikuti pembelajaran, sehingga orang tua bergerak menyerang guru (moving against people) dan mengatakan pembelaan yang tidak sejalan dengan pesan yang disampaikan oleh guru.

 

  1. Adanya “noise” pada saat berkomunikasi

Menurut Shanon and Weaver (1949) dalam berkomunikasi, salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi secara langsung yaitu adanya “noise”. Noise di sini diartikan sebagai hambatan dalam menyampaikan pesan. sehingga bisa menyebabkan berkurangnya kualitas dalam berkomunikasi. Hambatan dalam komunikasi antara guru dan orang tua terjadi dalam bentuk psychology (persepsi) dan semantic (penggunaan bahasa dan perbedaan tingkat pendidikan). Seperti pada tayangan film komedi Teachers on TV Land (YouTube), hambatan komunikasi dari segi semantic dalam tayangan tersebut terletak pada cara pandang orang tua terhadap guru dan bagaimana guru menggunakan bahasa serta intonasi dalam menyampaikan pesan. Sementara hambatan dari segi pysochology terlihat pada saat orang tua (ibu) merendahkan guru dengan menganggap dirinya lebih pintar daripada guru, dan bagaimana guru merespon perkataan dari ibu (selaku orang tua). Noise yang terjadi mengakibatkan komunikasi yang terjadi tidak berjalan dengan lancar. Argumen yang berlawanan terhadap perkataan dari guru mengenai perkembangan anak serta perkataan orang tua yang menyudutkan guru, mengakibatkan berkurangnya kualitas dalam berkomunikasi sehingga tujuan komunikasi untuk membantu meningkatkan kemampuan anak tidak tercapai dengan maksimal.

Baca Juga :  Pelindo Sub Regional Jawa Mengajar di SMA Barunawati Surabaya

 

  1. Adanya pengalaman pada kasus sebelumnya

Menurut Teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Bandura (1977), manusia belajar dari melihat pengalaman orang lain/lingkungan sekitar (vicarious learning). Kecenderung sikap defensive yang ditunjukkan oleh orang tua muncul karena adanya pengalaman dari pertemuan-pertemuan sebelumnya saat guru menggunakan pilihan kata yang cenderung menyudutkan anak mereka. Terlebih lagi jika komunikasi antara guru dan orang tua terjadi hanya satu arah saja, dimana guru sebagai pemberi saran yang aktif. Selain itu, adanya media sosial yang banyak memberitakan mengenai sikap dan penerimaan negatif dari lingkungan (sekolah) terhadap orang tua siswa slow learners menyebabkan orang tua bersikap lebih hati-hati dalam membuka diri pada saat mereka berkomunikasi dengan guru, terlebih lagi jika guru tersebut merupakan guru baru yang belum mereka kenal. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab sulitnya membangun komunikasi antara orang tua siswa slow learners dengan guru.

 

Dari beberapa hal yang telah dijabarkan di atas, bisa disimpulkan bahwa proses komunikasi antara guru dan orang tua (dari siswa slow learners) tidak mudah dilakukan. Hal ini terjadi karena adanya sikap defensive dari orang tua, “Noise” pada saat berkomunikasi, dan adanya pengalaman buruk dari kasus sebelumnya Dengan mengetahui beberapa penyebab terjadinya hambatan dalam berkomunikasi, diharapkan guru dapat lebih mudah menyampaikan pesan atau masukan terhadap perkembangan siswa slow learners kepada orang tua, tanpa takut merasa diintimidasi atau mengintimidasi orang tua siswa slow learners. Namun, dalam berkomunikasi secara langsung bersama orang tua, sebaiknya guru harus tetap menunjukkan empati kepada orang tua dan berpikiran terbuka, sesuai dengan 2 (dua) aspek teori komunikasi interpersonal oleh J. Devito (1988), yaitu openness (keterbukaan) dan emphaty (adanya empati).

Jangan takut menyampaikan pesan kepada orang tua. Berbicaralah dengan terbuka tentang perkembangan siswa, namun letakkan diri anda pada posisi orang tua dengan memahami, dan berempati tanpa menyalahkan mereka. Berikan saran tanpa menyinggung orang tua. Dengan demikian orang tua siswa slow learners merasa diterima dan mendapat dukungan dari lingkungan (sekolah), karena setiap orang membutuhkan pengakuan dari lingkungan dimana mereka berada (Edward Deci dan Richard Ryan; Self Determination Theory). Percayalah, komunikasi yang baik antara orang tua dan guru akan membawa dampak yang baik pada perkembangan anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News