Oleh: Titik Qomariyah
“Di pucuk kemarau panjang
yang bersinar menyakitkan
kau datang menghantar
berjuta kesejukan
kasih..
kau beri udara untuk nafasku
kau beri warna bagi kelabu jiwaku…”
Begitu penggalan lagu September Ceria, ciptaan James F. Sundah yang dipopulerkan Vina Panduwinata.
Saya mendengar lagu ini di ujung senja, ketika langit mendung dan hujan tak kunjung turun, sambil berharap September menjadi lebih baik dari kemarin.
Bukan berarti Agustus buruk, tidak. Isi kepala saya saja yang tidak baik. Butuh waktu berdiam untuk membaca kembali catatan perkawanan kita.
Setelah isi kepala penuh, sulit membedakan kamu baik atau jahat, memanfaatkan saya atau tidak. Hingga sukar bagi saya untuk menulis kata, merangkai kalimat menjadi bacaan dalam Se-Kilas.
Kemarahan yang berakhir pada kemalasan bertutur, sesungguhnya menyakitkan. Maka, sebulan kemarin saya habiskan waktu dengan bermacam kegiatan, membantu pelaksanaan kegiatan Agustusan di kampung. Dari lomba anak, tasyakuran, membuat baju daur ulang untuk kostum jalan sehat. Di sini saya belajar lagi tentang kebersamaan tanpa pamrih.
Di waktu lain, saya habiskan waktu untuk berjumpa dengan kawan lama dan berkenalan dengan teman baru. Kami berbicara banyak hal, dari isu politik soal kekuasaan oligarki, #indonesiatidakbaik-baiksaja, sampai keadaan darurat, berlogo garuda berlatar biru. Juga tentang bukunya Pramoedya Ananta Toer bersama komunitas Sabtu Membaca (lain waktu akan saya tulis tentangnya).
September, di awal bulan ini. Saya bertekad mengakhiri semuanya. Akan saya amputasi mereka yang mengganggu jiwa. Kembali menulis, melahirkan anak prosa seperti sebelumnya.
Bersama September Ceria yang di senandungkan Laluna, Fenty Pujanadi dan Maruli Tampubolon dari aplikasi spotify, lagu tersebut mengalun, menimbulkan rasa senang. Menebar energi positif untuk lebih baik. Ya, september ceria milik kita bersama. (*)