Foto: Tqi
Oleh: Titik Qomariyah
Seiring berjalannya waktu, era kejayaan Tupperware mungkin telah berlalu. Tupperware pernah menyelamatkan saya dari masalah ekonomi keluarga.
Paska berhenti dari perusahaan media massa, tabungan ludes, anak sakit, terlilit hutang tentunya. Berbagai pekerjaan telah saya lakukan, hasilnya belum cukup pula.
Atas ajakan saudara, diperkenalkan saya pada Bu Lutfiyah seorang manajer Tupperware bernama Jasmin. Dari sana saya mulai menawarkan produk rumah tangga, pada orang tua yang mengantar anak sekolah, pada ibu-ibu yang belanja di pasar, buruh pabrik dekat rumah dan tetangga tentunya.
Tanpa modal, sebab tak ada uang. Hanya berbekal kepercayaan Bu Lutfiyah, saya boleh mengambil produk pesanan konsumen. Istilahnya nyaur ngamek dalam bahasa Jawa.
Sampai akhir 2012 saya belum tergabung secara resmi pada tupperware. Hanya menjual kan saja. Tetapi manager itu memberikan hak yang sama berupa potongan harga 30%, mendapat bonus star setiap pembelanjaan Rp 1 juta, memberi bonus Rp 50 ribu setiap penjualan Rp 2 juta dan kelipatannya. Serta bonus produk bila berhasil menjual senilai tertentu dalam waktu sepekan. Bila berhasil merekrut seorang anggota, untuk mencapai posisi lebih tinggi.
Saya kesampingkan itu, saya tidak ingin posisi tinggi, sekali pun mendapat bonus ini-itu. Cukup menjual saja sebanyak-banyaknya, dari star dan bonus penjualan sudah cukup bagi saya.
Sebulan penjualan saya bisa lebih dari Rp 30 juta. Hasilnya lumayan bisa untuk modal, biaya les renang dua putri saya yang masih balita. Belajar bahasa Inggris di lembaga bimbingan belajar dan les jarimatika.
Saya juga pernah menang kompetisi party, cara berjualan/memperkenalkan Tupperware di pasar. Tepatnya juara dua.
Penjualan yang tinggi, seminggu bisa jualan lebih dari Rp 5 juta. Membuat saya tidak lagi membuat kerajinan tangan seperti sebelumnya.
Bonus produk cukup banyak, sebagian besar dijual. Hanya termos, panci, kompor dan beberapa saja digunakan sendiri.
Seperti termos merah muda ukuran 750 ml, telah digunakan si kecil sejak duduk dibangku SD Kelas 1. Ia gemar membawa teh hangat yang dinikmati bersama kawan-kawannya waktu istirahat. Seringnya digunakan, cat telah mengelupas di sana-sini, tapi fungsinya masih sangat bagus. Tahan panas air didalamnya lebih dari 24 jam. Tak heran termos produk tupperware lebih mahal. Dibanding saya beli dengan harga Rp 125 ribu, usianya tak sampai seminggu.
Namun begitulah persaingan bisnis. Semakin banyak penjual produk tupperware. Pendapatan kian menyusut pada 2019, mampu berjualan Rp 3-5 juta sudah baik. Hingga pandemi berlangsung saya berhenti berjualan. Tidak ada pembeli, semua fokus masalah ekonomi masing-masing.
Juga hari ini hanya ada satu-dua orang yang menanyakan botol minum atau tempat makan. Mereka saya layani dengan menjual stok di almari.
Bagi orang lain, pasar masih tinggi. Tapi disekitaran saya mereka tak lagi membeli tupperware. Lebih suka belanja di Shopee atau Lazada yang menyediakan warna dan bentuk lebih lucu mungkin. Pastinya harga lebih murah, tanpa melihat kwalitasnya.
Apapun itu perusahaan yang didirikan ahli kimia, Earl Silas Tupper, pebisnis kelahiran Amerika Selatan tahun 1907, telah menolong saya. Turut membantu kelancaran pendidikan Bulan-Jingga yang kini masuk bangku kuliah. (tqi)