Oleh: Titik Qomariyah
Mungkin benar, pengusaha rokok saat ini seperti pisau bermata dua. Satu sisi membuka lapangan kerja, penyumbang devisa tertinggi dari cukai, sisi lain tudingan soal kesehatan, rokok dianggap menggangu kesehatan dan penyebab sederet penyakit, berujung kematian.
“Kita ini berada di pilihan sulit. Mau protes demo nanti dituding negatif. Diam juga tidak baik,” kata Wakil Sekjen Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Abdul Gafur, di kantornya Malang, Senin (23/9/2024) lalu.
Keresahan ini sangat beralasan sebab, Kementerian Kesehatan RI sedang membahas Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik. RPMK ini merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2024 terkait standardisasi kemasan berupa kemasan polos (plain packaging).
Keseragaman kemasan, tanpa mencantumkan merk, membuat iklim Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak sehat. Bermacam dampak negatif bisa terjadi. Pencurian resep, memproduksi rokok dengan rasa persis. Peredaran rokok ilegal makin tak terbendung paling buruk PHK masal. Saat ini 1.300 lebih karyawan bergantung hidup di pabrik rokoknya.
“Akan kemana mereka kalau terjadi PHK. Sudah punya tanggungan keluarga, sekolah anak, biaya hidup tidak kecil. Saya ngeri membayangkan lebih jauh, ujungnya tingkat kriminal meningkat kondisi tidak aman, sebab pengganguran meningkat,” ungkapnya.
Sektor Industri Hasil Tembakau (IHT), sekali pun dituding penyebab segala penyakit, nyatanya mampu memberi lapangan pekerjaan bagi ribuan orang terutama di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebab itu, ia berharap pemerintah mengkaji ulang RPMK tersebut, meski dengan alasan kesehatan. Kalau pun nantinya diterapkan, apakah pemerintah siap membuka lapangan kerja baru bagi buruh pabrik rokok yang terdampak peraturan tersebut.
Situasi sulit, akibat plain packaging bukan hanya membayangi buruh pabrik rokok. Juga stabilitas negara dalam jangka panjang. Orang butuh makan, tanpa pekerjaan, aksi nekat, pencurian, perampokan bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan korbannya bisa siapa saja. Mungkin juga Anda dan keluarga pembuat kebijakan. (*)