KILASJATIM.COM, Jakarta – Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda, menilai perlu ada kajian mendalam terkait usulan Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Maruarar Sirait memasukkan orang tidak punya rumah dalam kategori miskin. Terkadang orang memilih tidak punya rumah karena faktor kenyamanan bukan karena unsur ketidakmampuan.
“Kalangan Gen Z banyak yang memilih sewa apartemen di pusat kota karena faktor kenyamanan. Dekat dengan tempat kerja, dekat pusat hiburan. Lalu apakah mereka kita kategorikan mereka miskin,” ujar Syaiful Huda, Kamis (19/12/2024).
Huda mengatakan di kawasan pedesaan tidak sedikit warga yang memilih tidak membeli rumah dan tinggal satu atap bersama keluarga besar karena alasan klutural. Padahal mereka memiliki pekerjaan tetap dan akses untuk memiliki rumah. “Kondisi mereka cukup mampu untuk membeli rumah masing-masing. Lalu apa ini dikategorikan miskin?,” katanya.
Dia menilai usulan untuk memasukkan rakyat yang belum memiliki rumah ke dalam kategori miskin, perlu kajian mendalam. Selain itu juga harus ada kesepakatan bersama dari Bappenas, BPS maupun lembaga terkait untuk memasukkan klausul tidak punya rumah, sebagai indikator kemiskinan. “Indikator kemiskinan yang dirujuk Bank Dunia, UNDP, IMF, hingga BPS umumnya terdiri dari dua unsur yakni moneter seperti pemasukan dan pengeluaran serta non monoter seperti akses layanan dasar. Jadi perlu kejelasan apakah tidak mempunyai rumah masuk unsur monoter atau nonmoneter untuk menjadi indikator kemiskinan,” katanya.
Legislator Jabar VII ini menegaskan mendukung penuh program 3 juta rumah per tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Untuk itu perlu dibuat peta jalan (road map) yang jelas dalam strategi pencapaiannya. “Kalau sudah ada peta jalan pemenuhan target 3 juta rumah per tahun ini maka terobosan yang dilakukan pemerintah bisa kita kawal agar tidak menabrak regulasi yang ada serta tidak memunculkan kontroversi yang tidak perlu,” pungkasnya.
JAKARTA – Anggota Komisi I Fraksi PKB DPR RI Oleh Soleh mendesak pemerintah segera membentuk Lembaga Perlindungan Data Pribadi (PDP). Pembentukan lembaga yang akan melindungi data rakyat Indonesia itu merupakan amanat undang – undang.
Oleh Soleh mengatakan, Pasal 58 Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP) menyebutkan bahwa presiden menetapkan lembaga yang menyelenggarakan perlindungan data pribadi.
“Lembaga tersebut bertanggung jawab langsung kepada presiden,” ungkapnya.
Menurut Oleh Soleh, ketentuan mengenai pembentukan lembaga tersebut diatur dalam peraturan presiden (Perpres). Sampai saat ini, pihaknya masih menunggu perpres yang akan mengatur terkait keberadaan Lembaga PDP.
Lembaga Perlindungan Data Pribadi mempunyai sejumlah tugas. Yaitu, merumuskan dan menetapkan kebijakan yang menjadi panduan bagi semua pihak. Lembaga itu juga bertugas mengawasi penegakan hukum administratif terhadap pelanggar UU PDP.
Selanjutnya, lembaga tersebut juga mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan terkait PDP
“Perlindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari perlindungan diri pribadi,” legislator asal Dapil Jawa Barat XI itu.
Lembaga PDP diharapkan bisa menjamin perlindungan hak-hak subjek data, memberikan iklim yang baik untuk pelindungan data di Indonesia, dan mencegah ketidakpastian bagi penyelenggaraan jasa elektronik di Indonesia
“Keberadaan Lembaga PDP diharapkan berdampak positif terhadap pengembangan ekonomi digital dan transformasi digital di Indonesia,” papar politisi asal Tasikmalaya itu.
Oleh Soleh menegaskan, pemerintah harus bergerak cepat untuk membentuk lembaga yang langsung di bawah presiden itu. Keberadaan lembaga tersebut sangat penting bagi dunia digital.
Apalagi, lanjut dia, penyalahgunaan data pribadi di Indonesia sangat marak. Seolah data masyarakat Indonesia tidak ada harganya. Banyak data pribadi masyarakat yang dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mengeruk keuntungan ekonomi.
“Praktik penyalahgunaan data pribadi harus dihentikan. Banyak data yang digunakan untuk penipuan dan kejahatan. Hal itu sangat meresahkan,” pungkas Oleh Soleh. (bud)