Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sosok Google Doodle Hari Ini

oleh -436 Dilihat

KILASJATIM.COM, Surabaya – Pada Rabu (10/5/2023) hari ini, Google Doodle merayakan hari kelahiran Prof. Dr. Sulianti Saroso yang ke 106 tahun. Lantas, siapakah Prof. Dr. Sulianti Saroso ini?

Google Doodle adalah perubahan logo Google untuk merayakan hari-hari spesial tertentu. Seperti hari kemerdekaan, peristiwa penting, budaya hingga profil tokoh yang dianggap berperan penting dalam kehidupan.

Jika membuka halaman depan Google.com ataupun Google.co.id hari ini, maka Anda akan melihat gambar logo Google yang berupa seorang dokter menggunakan stetoskop kepada seorang anak. Dialah Prof. Dr. Sulianti Saroso, orang yang namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) di kawasan Sunter Jakarta.

Nah, berikut profil lengkap Prof. Dr. Sulianti Saroso:

Profil Prof. Dr. Sulianti Saroso
Prof. Dr. dr. Julie Sulianti Saroso, MPH, PhD. adalah seorang dokter yang punya peran penting dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Dalam catatan sejarah, namanya dikenal dalam dua hal penting, yakni pencegahan dan pengendalian penyakit menular serta program keluarga berencana (KB).

Dr. Julie, begitu sapaannya, pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) pada tahun 1967. Selain itu, dirinya juga menjadi Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN) yang mengurusi pada Klinik Karantina di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Klinik tersebutlah yang saat ini menjadi Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) yang menjadi rujukan dan pusat riset penyakit menular, di mana namanya diabadikan. Bahkan pada masa Pandemi COVID-19 kemarin, RSPI ini menjadi pusat perawatan utama dan pengkajian untuk melawan wabah Corona di Tanah Air.

Semasa hidupnya, Dr. Julie Sulianti Saroso tidak pernah tertarik menjadi dokter praktik profesional. Karena itu ia disebut sebagai dokter yang tidak pernah menyuntik orang atau menulis resep.

Dirinya lebih banyak aktif untuk membangun kebijakan dan pengelolaan kesehatan di Indonesia. Dari hasil pemikirannyalah lahir berbagai program kesehatan masyarakat seperti vaksinasi massal, vaksinasi untuk anak usia dini, pelayanan kesehatan ibu dan anak, program KB hingga produksi cairan “Oralit” untuk penyakit diare.

Kehidupan Masa Kecil

Sulianti Saroso lahir pada tanggal 10 Mei tahun 1917 di Karangasem, Bali. Ayahnya, M. Sulaiman, juga adalah seorang dokter yang menjadi inspirasi bagi Sulianti kecil untuk menjadi dokter.

Sejak kecil, Sulianti selalu mendapatkan pendidikan terbaik dari keluarganya. Ia menempuh pendidikan sekolah dasar di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS).

Baca Juga :  Bangun Sinergitas dan Soliditas, Khofifah Silaturahim ke Pangdam V Brawijaya

Selanjutnya pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, yang mayoritas siswanya adalah anak berkulit putih.

Ia kemudian menempuh pendidikan dokter di Sekolah Kedokteran Stovia di Belanda, Geneeskundige Hooge School (GHS). Sulianti pun lulus menjadi dokter pada tahun 1942.

Masa Perjuangan Kemerdekaan
Setelah lulus, Sulianti bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat di Jakarta, yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo. Di sana ia berjuang mengiringi masa-masa awal kemerdekaan pada masa pendudukan Jepang.

Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Sulianti pun ikut hijrah dan menjadi dokter republiken di RS Bethesda Yogyakarta. Di sini, ia benar-benar terjun ke lapangan sebagai dokter perjuangan.

Ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik. Dirinya juga terlibat aktif dalam beberapa organisasi pejuang seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia dan juga organisasi resmi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

Pada tahun 1947, dr. Sulianti mewakili KOWANI untuk menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia di New Delhi, India. Di sana ia menggalang dukungan untuk kemerdekaan Indonesia.

Karena perjuangannya ini, Sulianti pun sempat ditahan bersama para pejuang kemerdekaan lainnya pada saat Pasukan NICA/Hindi Belanda menduduki Yogyakarta, pada Desember 1948. Dirinya pun harus meringkuk di penjara selama 2 bulan lamanya.

Mengkampanyekan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

Pasca revolusi kemerdekaan, dokter Sulianti kembali bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia mendapatkan beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya.

Sepulangnya di Tanah Air, dengan mengantongi Certificate of Public Health Administration dari Universitas London, ia pun ditempatkan di Yogyakarta sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.

Tak panjang lebar, Sulianti memanfaatkan kesempatan ini untuk mengkampanyekan program kesehatan ibu dan anak kepada masyarakat. Ia juga meminta kepada pemerintah untuk membuat kebijakan dalam penggunaan kontrasepsi dalam sistem kesehatan masyarakat.

Ia juga memanfaatkan media RRI Yogyakarta dan harian Kedaulatan Rakyat, untuk menyampaikan gagasan tentang pendidikan seks, alat kontrasepsi, dan program keluarga berencana (KB). Bagi Sulianti, kemiskinan, malnutrisi, kesehatan ibu dan anak yang buruk, dan angka kelahiran yang tak terkontrol adalah hal yang mendesak untuk diatasi.

Kampanye dan gagasannya ini pun mendapatkan penolakan dari banyak pihak. Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Yogyakarta bersama sejumlah dokter dan pimpinan organisasi keagamaan menolak mentah-mentah gagasannya ini. Dokter Sulianti pun mendapat teguran dari Kementerian Kesehatan.

Baca Juga :  Program Distribusi Paket Makanan Bergizi Kraft Heinz Wujudkan SDM Unggul Cegah Stunting

Ia kemudian dipindahkan ke Jakarta sebagai Direktur Kesehatan Ibu dan Anak di Kantor Kementerian Kesehatan.

Kini dokter Sulianti tak bisa bergerak sebebas dulu. Namun bukan berarti perjuangannya terkait program KB dihentikan. Bersama sejumlah aktivis perempuan, kini ia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK).

Organisasi swasta ini, menginisiasi klinik-klinik swasta untuk melayani KB di berbagai kota. Ia juga mendirikan pos pelayanan di Lemah Abang, Bekasi untuk memberikan pelayanan medis bagi ibu dan anak agar menjadi sehat dan bahagia.

Menjadi Penasehat Penyakit Menular di WHO

Memasuki tahun 1960-an, Sulianti dihadapkan pada masalah. Suaminya, Saroso yang merupakan pejabat tinggi di Kementerian Perekonomian terjerat awan panas pemberontakan PRRI/Permesta.

Tak ingin lama terpuruk, dokter Sulianti kemudian mengambil beasiswa di Tulane Medical School, Louisiana, Amerika. Dalam lima tahun, ia berhasil meraih gelar MPH dan PhD dengan disertasi epidemiologi bakteri E Coli.

Dengan gelar PhD ini, ia pun diterima untuk menjadi profesional di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss. Namun, ketika mempersiapkan kepindahannya ke Swiss, Menteri Kesehatan Profesor GA Siwabessy kala itu menahannya.

Ia pun diminta untuk menjadi Dirjen P4M dan Direktur LRKM (Balitbang) Kementerian Kesehatan RI. Dan tetap aktif sebagai profesional di WHO.

Ketika menjabat sebagai Dirjen Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M), Profesor Sulianti mendeklarasikan Indonesia bebas cacar.

Posisi sebagai Dirjen P4M ini dijalani hingga tahun 1975, setelah itu ia memilih fokus di Balitbang Kemenkes hingga pensiun pada tahun 1978. Di organisasi Kesehatan Dunia WHO, ia juga masih dipercaya sebagai pengawas pada Pusat Penelitian Diare di Dhaka, Bangladesh pada tahun 1979.

Pada era tahun 1970 hingga 1980-an berbagai gagasan-gagasannnya tentang pengendalian penyakit menular, KB dan kesehatan ibu dan anak perlahan diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.

Prof. Dr. Sulianto Saroso, MPH, PhD., wafat pada tahun 1991. Untuk mengenang perjuangan dan jasa-jasanya, namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Pusat Infeksi di Jakarta (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso. (bbs/bkj)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.