Polemik Pajak Reklame SPBU di Surabaya Masih Buntu, DPRD Desak Kejelasan Dasar Hukum

oleh -402 Dilihat

KILASJATIM.COM, Surabaya: Polemik mengenai penarikan pajak reklame terhadap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Surabaya kembali mengemuka. Pertemuan mediasi kedua yang difasilitasi Komisi B DPRD Surabaya pada Senin (4/8/2025) antara Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya dengan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Surabaya belum menghasilkan kesepakatan. Perbedaan penafsiran mengenai dasar hukum dan klasifikasi reklame, khususnya terkait kanopi atau resplang SPBU, masih menjadi sumber perdebatan.

Bapenda Surabaya, melalui Kepala Bidang PBB dan BPHTB, Siti Mitachul Jannah, menegaskan bahwa penarikan pajak reklame merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2023 serta rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ia mengakui masih terdapat ruang interpretasi terhadap objek pajak serta keterbatasan sosialisasi. “Sosialisasi sebenarnya telah dilakukan sejak 2019, meski pelaksanaannya belum menyeluruh. Namun demikian, kebijakan ini merupakan bagian dari kewenangan otonomi daerah,” ujarnya.

Pernyataan tersebut dibantah oleh kuasa hukum Hiswana Migas Surabaya, Ben D. Hadjon. Ia menilai kebijakan Bapenda tidak proporsional dan bertentangan dengan asas hukum, khususnya larangan retroaktif. Menurutnya, penarikan pajak dengan dasar Perda 2023 namun diberlakukan mundur hingga lima tahun sebelumnya, jelas melanggar prinsip hukum universal.

Lebih lanjut, Ben menekankan bahwa penggunaan warna merah pada kanopi SPBU bukan merupakan sarana promosi, melainkan bagian dari identitas korporasi Pertamina, sehingga tidak tepat digolongkan sebagai reklame. Ia juga mempertanyakan inkonsistensi kebijakan, karena aturan serupa tidak diberlakukan di daerah lain seperti Sidoarjo dan Gresik, meskipun definisi reklame dalam Perda DKI Jakarta yang serupa tidak menimbulkan permasalahan serupa. “Hal ini menunjukkan adanya perbedaan implementasi yang tidak rasional. Mengapa hanya Surabaya yang memberlakukan kebijakan berbeda?” imbuhnya.

Baca Juga :  Aulia Sarah dan Saputra Kori Ungkap Tantangan Mistis di Balik “Sosok Ketiga: Lintrik”

Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochammad Machmud, turut menyampaikan kritik. Ia menilai penarikan pajak reklame pada keempat sisi resplang SPBU, termasuk sisi belakang yang menghadap tembok, tidak logis. Selain itu, Machmud juga menuntut kejelasan mengenai klaim Bapenda bahwa kebijakan ini merupakan instruksi BPK. “Hingga kini tidak ada surat resmi dari BPK yang pernah ditunjukkan sebagai dasar kebijakan tersebut,” tegasnya.

Menurut Machmud, langkah Bapenda yang langsung menerbitkan surat tagihan tanpa sosialisasi terlebih dahulu sangat disayangkan. Untuk sementara, Komisi B DPRD Surabaya menyarankan agar para pengusaha SPBU menunda pembayaran hingga terdapat kepastian hukum serta bukti resmi dari BPK terkait kewajiban tersebut.

Polemik pajak reklame SPBU di Surabaya tidak hanya mencerminkan perbedaan tafsir regulasi, tetapi juga menyoroti persoalan transparansi dan keadilan dalam implementasi kebijakan perpajakan daerah. Ketiadaan bukti tertulis dari BPK semakin memperkuat alasan perlunya evaluasi ulang atas kebijakan tersebut.

Apabila tidak segera dituntaskan, permasalahan ini dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk dalam tata kelola perpajakan daerah di masa mendatang.(ADV/den)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.