Oleh Eri Irawan, penggemar sepak bola, tinggal di Surabaya.
Dua kemenangan beruntun Persebaya Surabaya atas dua tim papan atas eks perserikatan, Persib Bandung dan PSM Makassar, menyadarkan kita semua bahwa sepak bola bukan matematika. Sepak bola tidak pernah tertebak. Dan mungkin karena itu, dalam situasi serumit apa pun, kita tidak boleh putus harapan. Orang Inggris bilang: it ain’t over til it’s over. Semua belum berakhir sampai semuanya berakhir.
Jujur saja, semua pendukung Persebaya sempat heran dan tidak bisa memahami, bagaimana sebuah tim yang begitu perkasa selama putaran pertama Liga 1 Musim 2024-25, mendadak rontok di awal putaran kedua.
Setelah menang 2-1 atas Borneo FC di pekan ke-16 pada 20 Desember 2024, Persebaya tidak pernah menang dalam enam pertandingan berturut-turut. Lima laga kalah—dengan empat kekalahan beruntun. Hasil terbaik hanya imbang 1-1 melawan Persita Tangeran di kandang sendiri, Gelora Bung Tomo, pada pekan ke-21 (31 Januari 2025). Pekan berikutnya Persebaya tumbang 1-2 di kandang Persis Solo. Menyesakkan.
Saya membayangkannya sebagai hari-hari yang berat bagi Persebaya, Kekalahan beruntun tidak hanya membuat kehilangan poin pada saat persaingan papan atas semakin ketat. Lebih dari itu, kekalahan demi kekalahan merontokkan mental pemain.
Pertanyaan pertama: apa yang salah?
Ini sempat dialami Manchester City musim ini. Tim sehebat City yang dilatih manajer sejenius Pep Guardiola terkapar empat kali berturut-turut dalam kompetisi Liga Primer Inggris. Tidak pernah terbayangkan di benak siapapun yang mencintai sepak bola, bahwa City akan dihajar 0-4 di kandang sendiri oleh Tottenham Hotspur atau kalah di kandang Bournemouth dan Brighton dengan skor masing-masing 1-2. Sejak 31 Oktober-1 Desember 2024, City kalah 6 kali, dan hanya satu kali seri pada semua ajang.
Tekanan tidak hanya datang dari tim-tim kontestan liga yang memandang tim yang kalah beruntun sebagai makanan empuk. Tekanan terberat justru datang dari suporter dan presiden klub.
Para suporter tidak bisa menerima kekalahan beruntun dan menganggap itu sebagai parameter ketidaklayakan pemain dan pelatih untuk mengenakan jersey kebanggaaan. Adapun presiden klub pastinya menyiapkan serangkaian evaluasi bagi pelatih, yang mungkin bisa berujung pemberhentian di tengah jalan.
Ada cerita tentang bilur merah di wajah Guardiola seperti kena cakar. Spekulasi berkembang: pelatih asal Spanyol itu mencakar wajahnya sendiri saking frustrasinya. Kekalahan demi kekalahan tidak bisa diterimanya.
Saya tidak tahu bagaimana reaksi Paul Munster saat berada dalam tekanan. Namun yang saya sukai dari pelatih asal Irlandia Utara adalah vibes yang selalu positif.
“Kami tidak akan pernah menyerah. Kami tetap fokus pada pertandingan berikutnya. Dan kami akan memastikan untuk bisa meraih kemenangan,” katanya seperti dikutip dari Antara.
Situasi pelik seperti itu hanya berujung pada dua kemungkinan. Kekalahan semakin panjang, karena mental ambruk. Atau menemukan momentum untuk menang sekali saja, untuk kemudian terus melaju.
Saya melihat momentum Persebaya ditemukan pada saat pertandingan melawan Persib yang sekaligus hari mengenang Bejo Sugiantoro. Atmosfer stadion begitu luar biasa. Positif. Aura kemenangan terasa, kendati yang dihadapi adalah tim pemuncak klasemen sementara. Wajah para pemain pun tak gentar.
Dan benar saja. Para pemain Persebaya bertarung tanpa mengenal rasa takut. Mereka menghadapi tantangan Persib untuk bermain terbuka dan saling serang. Saling gempur. Ketat. Menit demi menit diwarnai saling balas peluang. Para pemain dan suporter Persebaya seperti ingin menunjukkan bahwa pertandingan melawan Persib adalah pertandingan penghormatan untuk sang legenda.
Hasilnya: Persebaya membabat Persib 4-1. Kemenangan yang dipersembahkan untuk sang legenda: Bejo Sugiantoro. Sebuah laga yang emosional: kemenangan berharga, sekaligus mengenang salah satu kehilangan terbesar bagi perjalanan Persebaya dengan wafatnya Bejo Sugiantoro.
Aura kemenangan ini kemudian berlanjut di Stadion BJ Habibie. Berada dalam tekanan konstan para penyerang PSM, pemain Persebaya bermain heroik dan mempertahankan setiap jengkal wilayahnya dari semua upaya lawan untuk mencetak gol. Hasilnya: kerja sama keren antara Bruno Moreira dan Franciso Rivera membuahkan kemenangan bersejarah. Ini kali pertama sejak hampir 32 tahun silam Persebaya bisa menang di kandang PSM.
Kini tinggal menjaga momentum ini. Tidak perlu terburu-buru. Hadapi saja satu demi satu pertandingan. Kuasai lapangan sejengkal demi sejengkal. Menangi satu per satu. Setiap pekan. Sebagaimana dikatakan Al Pacino yang berperan sebagai pelatih American Football, Anthony “Tony” D’Amato, dalam film “Any Given Sunday”.
You find out life’s this game of inches. So is football because in either game, life or football, the margin for error is so small. I mean, one half a step too late or too early and you don’t quite make it. One half second, too slow, too fast, you don’t quite catch it. The inches we need are everywhere around us.
Jadi, delapan pertandingan tersisa: 8 x 90 menit, delapan harapan, delapan kemenangan. Aamiin. (*)