Foto: Ist/Dok
KILASJATIM.COM, Malang – Pertemuan terkahir kami pada 2019 sebelum COVID-19 melanda. Menikmati Bebek goreng, berbalut sambel tomat, lalapan kemangi dan kubis yang aduhai nikmatnya dilahap dengan nasi hangat, di bilangan Jl. Kedungdoro, Surabaya.
Sambil menunggu hidangan siap, kami bicara apa saja. Tentang rencana ke depan, selepas tak menyandang nama media dibelakang embel-embel nama kami. Rencana buka toko, warung makan dan studio impian di rumah masing-masing.
“Warung makanku gak jalan. Tak percayakan sama orang,” katanya.
“Ya, buka usaha diawal itu harus kita sendiri yang terlibat langsung. Tidak bisa di percayakan sama orang. Bukannya tidak percaya pegawai, sekali pun itu teman. Kalau sudah lancar, baru bisa kita tinggal-tinggal. Tapi tetap kita harus kesana untuk melihat perkembangan,” saya menimpali.
“Maksudku, agar semua usaha jalan. Warung jalan, usaha foto juga jalan, dan aku bisa freelance di tempat lain,” laki-laki di samping saya menjelaskan.
Kembali saya tegaskan. Jika usaha harus salah satu dulu dikuatkan. Tidak semuanya langsung bersamaan dan berhasil sekaligus. Kecuali secara pendanaan operasional kuat, memiliki dana cadangan berlipat-lipat.
Kembali ia menjelaskan jika gagal, berarti belum saatnya berhasil. Dan ia akan mencoba kembali dengan usaha lain, sambil mengumpulkan modal. Baik lah, jika demikian saya mengalah, dan kami berganti tema.
Kali ini, ia membahas Bebek Sinjai khas Madura yang juga aduhai enak. Bebek berlapis madu menjadi manis pedas bila disantap dengan sambal dan nasi hangat. Fotografer ini berniat membuat olahan Bebek tersebut sebagai usaha berikutnya. Ia mengaku sudah beberapa kali mencoba resep bebek khas pulau sebrang Surabaya. Jika tidak berhasil membuka usaha di daerahnya ia akan buka usaha di ibu kota. Bersamaan datangnya tawaran kerja, sebagai dokumentasi perusahaan BUMN.
Makanan kami telah ludes, antrian menunggu tempat untuk bersantap mulai terlihat. Tidak mungkin obrolan dilanjutkan di warung ini. Kami pindah ke seberang jalan, menikmati angsle sambil lesehan.
Pertemuan di pertengahan bulan. Bulan depan ia akan berangkat ke Jakarta. Ngobrol apa saja, mengenang masa lalu dan membahas masa depan.
“Nyos, wes yakin-a. Iki kerjo temen lho iki,” kata Budi yang duduk di sampingnya.
Nyos, panggilan akrabnya. Meyakinkan, rencana kerja yang mereka sepakati bersama, tinggal di mess perusahaan dan siap ditugaskan kemana saja.
Nyos, menyambut dengan tawa kalem khasnya, sambil njawil dan berkata siap bekerja dimana saja. Ya, Nyos kawan kami yang sabar, jarang marah. Sekalipun kami suka menggoda. Atau Budi yang berapi-api berkata ngotot, Nyos selalu menanggapi kalem saja.
Sebelum kami berpisah, ia menceritakan, mengapa orang-orang suka mengejek, bully istilah sekarang. Menanyakan hal tidak perlu, privasi. Seperti kenapa tidak menikah? Apa gak laku-laku? Atau penyuka sesama jeruk?
“Kawan-kawan di kantor, suka sekali bertanya soal itu. Bahkan menjadikan guyonan. Dan yang lain menimpali sambil tertawa. Kok gak mikir kalau itu menyinggung perasaanku? Tapi sudah lah, menanggapi salah, tambah di kroyok. Tak diemin aja, setidaknya tau sifat mereka,” ungkapnya.
Saya pun meminta maaf. Sebab, saya sering menyuruhnya menjalin hubungan dengan kawan lajang di sekitar kami. Tanpa bermaksud menyakiti.
Itulah pertemuan terakhir kami. Dimana saya datang ke Surabaya sendiri (Bulan-Jingga ditinggal di rumah Malang) untuk bertemu mereka, sekadar makan dan ngobrol bersama. Sungguh, pertemuan bersama Nyos alisa Mas Iwan Hariyanto (almarhum), Budi dan Marta menjadi berharga.
Sebab tahun berikutnya kami tak saling jumpa, COVID-19 melanda. Mas Iwan dinyatakan meninggal akibat covid, meski ia mengalami serangan Gerd, asam lambung (sesuai surat keterangan dokter puskesmas yang ditemukan dalam kamar kos). Beberapa hari sebelum meninggal, nampaknya ia sempat berobat ke puskesmas setempat. Ia meninggal dalam kamar kos di ibu kota, medio April 2020 lalu.
Budi mengabari kepergiannya. Saya menangis berhari-hari, membayangkan ia sendirian dalam kesakitan dan penyesalan saya yang suka menggodanya dulu.
Ingatan akan Mas Iwan, datang dari Arik, si Bakul Jarik kawan saya, saat telponan. Mas Iwan, Nyos selamat jalan, sampean orang baik, surga langgeng untukmu, Al Fatihah. (tqi)