Penurunan Daya Beli Masyarakat dan Fenomena Paylater di Indonesia

oleh -644 Dilihat

KILASJATIM.COM, Jakarta – Penurunan daya beli masyarakat menjadi perbincangan hangat sejak pertengahan tahun 2024. Sejumlah indikator menunjukkan adanya perlambatan daya beli yang signifikan.

Angka deflasi selama lima bulan berturut-turut (Mei-September 2024), penurunan drastis penjualan mobil, fenomena penggunaan tabungan, berkurangnya tabungan masyarakat, kemerosotan kelas menengah, hingga penjualan ritel di beberapa sektor yang anjlok menjadi bukti nyata pelemahan daya beli masyarakat.

Melemahnya daya beli ini juga berimbas pada aktivitas manufaktur di Indonesia. Indeks PMI Manufaktur mengalami koreksi selama lima bulan berturut-turut (Juli-November 2024), menunjukkan dampak nyata dari menurunnya konsumsi domestik.

Di tengah situasi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa total outstanding utang masyarakat Indonesia melalui layanan paylater mencapai Rp 30,36 triliun per November 2024. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan outstanding utang pada bulan sebelumnya yang sebesar Rp 29,66 triliun.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyebutkan bahwa fasilitas paylater menjadi opsi yang mudah bagi masyarakat dalam mendapatkan pembiayaan. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, masyarakat tetap memerlukan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun gaya hidup.

“Masyarakat tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan atau gaya hidup mereka. Oleh karena itu, BNPL (Buy Now, Pay Later) menjadi alternatif pilihan,” ujar Nailul Huda, dikutip pada Kamis (30/1/2025).

Selain proses pengajuan yang mudah secara digital, BNPL juga dianggap membantu generasi muda Indonesia yang saat ini banyak menanggung beban finansial dari orang tua mereka, yang dikenal sebagai generasi sandwich.

“Banyak generasi muda kita yang termasuk dalam kategori sandwich generation. Mereka sulit meminjam ke keluarga, sehingga teknologi seperti BNPL menjadi solusi. Selain itu, masyarakat unbanked dan underbanked juga kesulitan mengakses layanan perbankan konvensional,” jelasnya.

Baca Juga :  Stabilkan Pasokan dan Harga Pangan, Pemkot Malang Gencarkan GPM

Namun demikian, Huda mengingatkan bahwa potensi gagal bayar meningkat seiring dengan pola konsumsi seperti ini. Dampak negatif lainnya adalah pergeseran alokasi pengeluaran ke sektor tertentu untuk membayar bunga dari BNPL.

Sebagai catatan, kredit macet atau non-performing loan (NPL) dalam layanan BNPL pada November 2025 tercatat sebesar 3,21%. Meski demikian, angka ini mengalami penurunan dari titik tertinggi 6,66% pada September 2023. Penurunan ini didorong oleh perbaikan kualitas portofolio kredit serta akuisisi kredit, terutama di sektor fintech, dan semakin banyaknya bank BUKU IV yang terjun ke layanan ini.

Diketahui, dua bank besar telah menyediakan layanan paylater, yakni PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang meluncurkan paylater BCA pada 30 September 2023, serta PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) yang merilis Livin’ Paylater secara terbatas. Selain itu, PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) juga berencana meluncurkan layanan serupa dalam waktu dekat.

Sementara itu, data dari Pefindo Biro Kredit (IdScore) menunjukkan bahwa fasilitas paylater lebih banyak digunakan untuk pembelian produk sekunder, yakni sebesar 41,9%, seperti transaksi menggunakan QRIS dan lainnya. Selanjutnya, penggunaan untuk pembelian di e-commerce mencapai 33%, pembelian tiket perjalanan sebesar 21,1%, dan 4% untuk pembelian langsung di toko.

“Saat ini, kemungkinan besar fasilitas paylater lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sekunder atau sekadar gaya hidup,” ujar Direktur Utama IdScore, Tan Glant Saputrahadi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun daya beli masyarakat melemah, kebutuhan konsumsi tetap tinggi. Paylater menjadi solusi cepat, namun juga menyimpan risiko keuangan yang perlu diperhatikan oleh pengguna dan regulator. (den)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.