Pentas Bagong Crying Soul, Tentang Krisis Kesehatan Mental Gen Z

oleh -182 Dilihat

KILASJATIM.COM, SURABAYA – Lakon Bagong Crying Soul digelar di Dian Auditorium, Universitas Ciputra (UC) Surabaya, menjadi ruang ekspresi bagi generasi muda, khususnya Generasi Z, dalam menyuarakan kegelisahan dan luka batin yang kerap tersembunyi di balik citra luar yang tampak ceria.

Disutradarai Henry Susanto Pranoto, Ph.D., dosen International Business Management Universitas Ciputra, pagelaran ini melibatkan mahasiswa Universitas Ciputra serta siswa Sekolah Citra Berkat Surabaya yang telah mempersiapkannya selama satu semester penuh.

Mengangkat sosok Bagong tokoh wayang yang dikenal jenaka namun sarat makna pertunjukan ini menghadirkan narasi mendalam tentang realita kesehatan mental generasi muda. Bagong digambarkan tetap tersenyum meskipun menjadi korban bullying dan ketidakadilan, mencerminkan kondisi banyak anak muda yang menyembunyikan luka mereka di balik tawa dan unggahan media sosial.

“Generasi Z saat ini hidup dalam tekanan sosial yang sangat tinggi. Mereka terlihat aktif, tetapi banyak yang menyimpan luka dalam diam. Melalui pertunjukan ini, saya ingin mereka belajar untuk berani membuka diri dan mengekspresikan emosi,” terang Henry.

Menurut data World Health Organization (WHO), satu dari tujuh remaja usia 10–19 tahun mengalami gangguan mental. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat peningkatan kasus depresi dan kecemasan pada remaja hingga 25% dalam dua tahun terakhir, dipicu oleh tekanan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, dan cyberbullying.

Pagelaran ini juga menampilkan musik orisinal ciptaan Henry Pranoto serta kolaborasi dengan kecerdasan buatan (AI). Penonton diajak mengenali nuansa emosional dari karya manusia dan AI, sebagai bentuk eksplorasi bahwa teknologi bisa menjadi alat bantu ekspresi, bukan pengganti sisi kemanusiaan. Desain panggung yang menjangkau ke dalam area penonton menciptakan kedekatan emosional antara pemeran dan audiens. Salah satu adegan bahkan terinspirasi dari kisah nyata mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan perundungan. “Kita harus menciptakan ruang aman bagi generasi muda untuk berbicara, mengekspresikan diri, dan merasa dimengerti. Jika tidak, luka itu bisa menjadi bom waktu yang berujung pada tindakan ekstrem,” tegas Henry.

Baca Juga :  Tim Informatika Telkom University Surabaya Kembangkan Sistem Digitalisasi Rapor di TPQ Al Mubaarok 

Bagong Crying Soul menjadi bukti bahwa seni bukan hanya media hiburan, tetapi juga sarana penyembuhan dan refleksi sosial. Diharapkan pertunjukan ini dapat menjadi pemantik gerakan kolektif dalam membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan remaja dan pemuda Indonesia.(tok)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News