Foto: Tqi
Oleh: Titik Qomariyah
Sumaiya, perempuan berusia setengah abad lebih tujuh belas tahun. Rajin bekerja, pagi sudah menggelar dagangannya. Berupa aneka sayur matang, lauk-pauk dan kue. Inilah yang saya suka.
Masakannya enak, sayur lodeh dan tempe bacem, bersama nasi hangat dan sambal bajak. Menggugah selera, jadi candu bagi siapa saja.
Pada usianya yang tak lagi muda. Ia tak sendiri menggelar dagangan di pasar. Ditemani anak, kadang cucu kalau libur sekolah, juga suaminya yang datang dan pergi.
Melihat usahanya laris manis. Keuntungan tentu manis pula. Yang terjadi sebaliknya, mengeluh tak punya uang, kadang untuk membayar orang-orang yang nitip dagangan kue harus dijanjikan. Jika tidak ia kerap pasang muka masam.
Saya curiga pada anak-cucunya, apa mereka mengambil keuntungan sepihak? Sebab penasaran, saya amati berbulan-bulan. Baru ketahuan jika uang dalam kaleng bekas biskuit, tempat penyimpanan uang bisa berkurang otomatis setiap hari. Jumlah dagangan dan uang yang diterima tak seimbang.
Perempuan tua itu kerap mengeluh, dan diam jika anaknya kembali dari belanja. Sempat putus asah akan berhenti jualan saja.
Tenaganya seperti sia-sia, tidur malam. Bangun sebelum subuh, memasak ini-itu, selalu tandas tapi modal tak kembali. Bertahun-tahun demikian. Jika ia bertahan, karena tidak ingin disebut pengangguran.
“Mana enak makan ikut anak. Pengen jajan nunggu dibelikan anak. Iya kalau anak kita punya uang. Kalau tidak bagaimana? Saya tidak ingin jadi perempuan goblok yang semuanya nunggu pemberian,” ceritanya satu hari ketika saya sarapan.
Laki-laki tua yang gemar merokok, terbatuk-batuk bermuka polos. Datang dan pergi dari warung bercat kuning. Sekadar mencomot sebuah kue, lantas memutari warung. Masuk lewat pintu belakang. Sambil mengunyah jajan, ia berdiri di depan meja tepat kaleng biskuit bekas bertumpuk uang.
Jika ada pembeli, kadang-kadang ia membantu melayani. Tubuh tua, sedikit lambat. Tapi tangannya terampil dalam urusan menerima dan mengambil kembalian uang pelanggan.
Sambil mengamati, anak Sumaiya bercerita prihal ibunya yang mengeluh tak ada uang. Sebagai anak yang membantu, ia merasa tertuduh menghisap pendapatan warung.
Di tengah ramainya pembeli, seorang perempuan membayar uang lima puluh ribu. Laki-laki tua itu tidak memasukkan dalam kaleng biskuit, menggenggam lantas memasukkan dalam saku celananya. Tak lama ketika pembeli berkurang, ia beranjak, sebelum meninggalkan tempatnya berdiri kembali tangannya beroperasi.
“Aku minta uang dua ribu, buat ke kamar mandi,” katanya pada perempuan yang sibuk menata dagangan.
Sungguh aku melihat jempol dan telunjuk mengambil lembar kertas bergambar Hoesni Thamrin. Sedang kelingking dan jari manis menjepit uang bergambar Ir. H. Djuanda Kartawidjaja. Lantas memindah ke tangan kanan dan masuk dalam saku. Semuanya dilakukan dengan kecepatan pesulap.
Aku terperangah, sedang anak dan cucu Sumaiya yang baru datang sambung-menyambung berkisah kerugian. Menyampaikan tuyul, mahkluk tak kasat mata berkeliaran di warung mereka. (*)