Kepala OJK Jatim Yunita Linda Sari. (ist/dok)
KILASJATIM.COM, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Jawa Timur (OJK Jatim) menggelar Forum Evaluasi Kinerja Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) se-Jatim 2025. Mengusung tema “Peningkatan Kinerja LKM & LKMS Jawa Timur melalui Penguatan Struktur dan Penerapan Tata Kelola”
Kepala OJK Jatim Yunita Linda Sari mengatakan, forum ini menjadi momen penting untuk memperkuat komitmen bersama dalam mengimplementasikan Roadmap Pengembangan dan Penguatan LKM 2024-2028.
Forum ini bukan sekadar ajang capaian angka, tetapi menjadi ruang meneguhkan kembali komitmen. Yakni memperkuat tata kelola agar LKM dan LKMS benar-benar menjadi ujung tombak ekonomi kerakyatan.
“Penguatan tata kelola adalah kunci agar LKM dan LKMS bisa tumbuh sehat, transparan, dan berdaya saing. Ia merujuk pada Roadmap Pengembangan dan Penguatan LKM 2024–2028. Di dalamnya mencakup manajemen risiko, peningkatan SDM, pengembangan ekosistem layanan, hingga penguatan regulasi dan perizinan,” ujar Yunita dalam sambutannya dalam pembukaan yang dihadir jajaran Kepala OJK dari berbagai wilayah di Jawa Timur, perwakilan dari OJK pusat, Ketua Asosiasi LKM dan LKMS Indonesia (Aslindo), serta pengurus LKM/LKMS se-Jatim.
Yunita berharap LKM dan LKMS dapat terus menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan yang sehat, transparan, dan berdaya saing, serta semakin inklusif dalam menjangkau masyarakat.
Sementara itu, Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 2 Kantor OJK Jatim Asep Hikayat menyoroti kondisi LKM/LKMS di Jatim. Hingga Juni 2025, tercatat 61 LKM/LKMS berizin dengan total aset Rp 260,52 miliar dan penyaluran pembiayaan Rp 162,93 miliar.
Secara umum, sebagian besar lembaga memenuhi rasio likuiditas, solvabilitas, dan ekuitas terhadap modal disetor. Namun, masih terdapat beberapa LKM yang belum sepenuhnya konsisten memenuhi ketentuan rasio kesehatan.
Asep menegaskan, tantangan terbesar saat ini adalah rasio pinjaman bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) yang mencapai 12,79 persen, yang berdampak pada menurunnya rasio ROA, ROE, dan efisiensi (BOPO). Tingkat kepatuhan pelaporan juga baru mencapai 75 persen.
“Penyelesaian pinjaman bermasalah harus menjadi prioritas utama, karena hal ini terkait langsung dengan kesehatan industri dan kepercayaan masyarakat. Di sisi lain, penguatan sistem informasi seperti SISPRO harus terus diperluas agar mendukung tata kelola yang lebih baik,” tegasnya.
Sedangkan Asosiasi, Aslindo (Asosiasi LKM dan LKMS Indonesia) menilai lembaga mikro punya potensi besar jika mampu bersinergi. Burhan, Ketua Aslindo, menyebut kolaborasi dengan fintech dan bank digital dapat memperluas layanan, membuat pembiayaan lebih cepat, fleksibel, sekaligus tetap berakar pada misi kerakyatan.
“LKM dan LKMS adalah ujung tombak keuangan rakyat. Dengan tata kelola yang baik dan kolaborasi luas, mereka bisa menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi desa,” katanya.
OJK sendiri telah menerbitkan sejumlah regulasi baru untuk memperkuat industri ini. Mulai dari POJK 41/2024 tentang perizinan LKM, POJK 48/2024 tentang tata kelola perusahaan modal ventura dan LKM, hingga SEOJK 1/2025 yang mengatur laporan keuangan LKM. Semuanya diarahkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan penguatan tata kelola, LKM dan LKMS diharapkan tidak hanya hadir sebagai lembaga keuangan kecil di pinggiran, tetapi sebagai aktor penting pembangunan ekonomi desa dan penopang pertumbuhan Jawa Timur.
Melalui kegiatan ini, OJK Jatim berkomitmen terus mengawal industri LKM/LKMS agar tumbuh sehat, transparan, dan berdaya saing.
“Komunikasi publik dan tata kelola kelembagaan harus berjalan seiring. Dari situlah kepercayaan masyarakat tumbuh,” pungkasnya. (nov)









