Menepis Kecemasan Aldous Huxley di Surabaya

oleh -1958 Dilihat

Oleh: Eri Irawan
Pegiat kebijakan publik

Teknologi adalah pedang bermata dua. Setidaknya bagi Aldous Huxley, seorang filsuf Inggris penulis buku “Brave New World”, kemajuan teknologi bisa berpotensi hanya menghadirkan sarana yang lebih efisien untuk bergerak mundur menjauhi kemanusiaan itu sendiri—justru karena saking kuatnya pengaruh teknologi.

Huxley agak ragu dengan teknologi yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Namun peradaban dibentuk dari penemuan dan keberanian. Peperangan dan perdamaian. Tentu saja, teknologi menakutkan. Setidaknya kita tahu bagaimana sejarah peradaban dunia jatuh dan bangun, runtuh dan ditata kembali, karena teknologi.

Teknologi merapikan chaos, dan itulah yang kemudian menjadi bagian dari lahirnya anak kandung peradaban bernama kota. Kota-kota yang senantiasa dituntut untuk utuh dan bertumbuh dari waktu ke waktu. Di masa sempit maupun lapang. Di tengah riuh yang berantakan atau keteraturan yang membosankan.

Teknologi adalah bagian dari peradaban yang membentuk sistem pemerintahan yang bekerja tak kasat mata, dalam senyap. Setiap hari kita hanya melihat para pegawai kota praja yang berangkat pagi dan pulang menjelang petang. Berseragam dan bekerja di kantor-kantor yang dibiayai dengan pajak. Membuat keputusan-keputusan yang menentukan hendak ke mana sebuah kota bergerak: berlari menuju kemajuan atau runtuh di tengah jalan bersama sejarah.

Namun teknologi membuat pemerintah bekerja dalam pertautan dan keserempakan dengan bingkai regulasi yang jelas dan transparan. Golnya satu: pelayanan yang lebih baik.

Dunia telah memberi banyak contoh bagaimana teknologi mengubah kota, dan kota mengubah teknologi. Kota dan teknologi, teknologi dan kota, adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang membentuk archetype, pola dasar, dari peradaban maju umat manusia. Dari London, Tokyo, Paris, sampai Seoul, kota-kota di papan atas Global Power City Index; teknologi dengan beragam sektor penerapannya sukses memainkan peran penting dalam kemajuan kota.

Baca Juga :  Warung Tenang di Jantung Keramaian Kota

Teknologi dan kota, kota dan teknologi, dalam lansekap kota-kota dunia saat ini telah melompat sangat jauh: tak sekadar pasang CCTV, atau lomba bikin aplikasi; melainkan telah menjadi solusi terintegrasi untuk berbagai sektor kehidupan, dari pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi, hingga pelayanan publik.

Di Surabaya, kota metropolitan dengan besaran ekonomi terbesar kedua di republik ini, penerapan teknologi juga mengubah paras pelayanan kota kepada warganya. Penerapannya lazim disebut “Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)”, sebuah ekosistem digital yang terbentang soal kebijakan, tata kelola, hingga layanan internal pemerintah dan layanan eksternal alias publik. Surabaya dinobatkan sebagai kota dengan indeks SPBE terbaik se-Indonesia, dengan 47 indikator yang dibedah 30 perguruan tinggi dan lintas kementerian/lembaga. Penghargaan diterima Wali Kota Eri Cahyadi di Istana Negara, diserahkan Presiden Joko Widodo.

Sentuhan teknologi membuat pemerintah kota seperti Surabaya tak hanya bekerja lebih akuntabel, namun juga memungkinkan masyarakat mengakses informasi untuk terlibat lebih serius dalam proses pengambilan keputusan, termasuk memberikan informasi dan mengawasi pemerintahan.

Pemkot Surabaya berikhtiar menyatukan semua pelayanan publik dalam satu sistem besar bernama Surabaya Single Window (SSW) Alfa yang ditopang sejumlah platform lain—meski tentu belum sepenuhnya sempurna, yang pada akhirnya memudahkan warga kota dalam mengurus hidup mereka. Dan itulah sesungguhnya makna birokrasi: mengurus warga dari ayunan hingga liang lahat. Prinsip ini menjadikan Surabaya sebagai bagian dari peradaban kota-kota di dunia.

Melalui SPBE, Pemkot Surabaya berupaya menerapkan pemerintahan digital secara terintegrasi. Pemkot Surabaya menjawab harapan publik untuk pelayanan yang cepat, efisien, efektif, dan terintegrasi. Termasuk lewat kolaborasi seperti bersama Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama untuk beberapa urusan warga.

Sistem ini memang tak kasat mata. Namun telah membawa lompatan baru dalam dunia birokrasi dengan meninggalkan pola pikir pelayanan yang stagnan.

Baca Juga :  Angin Puting Beliung Hantam Surabaya: Balas Klumprik Wiyung Terdampak Parah

Teknologi digital membuat pertemuan birokrat dengan publik semakin minim. Di sebuah negara yang masih memiliki budaya sungkan dan susahnya menggerus kultur koruptif, minimnya persinggungan menciptakan ruang yang sehat tanpa diskriminasi dan pengistimewaan. Warga diperlakukan setara bukan karena kebaikan manusiawi birokrasi, namun karena sistem menghendaki demikian.

Lewat teknologi, Pemkot Surabaya telah memulai sebuah ikhtiar penting untuk membawa kota ini menuju “kota dunia”, “kota global”, terminologi yang dipopulerkan Saskia Sassen, meski ikhtiar untuk menuju predikat itu masih jauh dari kata tuntas.

Wali Kota Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji tahu apa yang perlu dituntaskan untuk terus menyempurnakan apa-apa yang menjadi prasyarat bagi sebuah kota dunia, terminologi yang juga dipilih dalam visi Pemkot Surabaya: Gotong Royong Menuju Kota Dunia yang Maju, Humanis, dan Berkelanjutan.

Pada akhirnya, Huxley tak selamanya benar. Dan majunya Kota Pahlawan kelak tak hanya dikenal karena kualitas ruang publik atau gemuruh sepak bolanya. Namun juga pelayanan publik dengan pendekatan teknologi terintegrasi yang merepresentasikan bagaimana peradaban tumbuh dengan sebuah sistem pemerintahan yang bekerja dengan benar di kota ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.