KILASJATIM. COM, Malang- Senja akhir Nopember, mengabur ditelan awan. Gelap menuju malam, suara langkah kaki dan sandal beradu plesteran gopal terdengar sampai dapur.
Suara itu terdengar lagi petang ini. Tepat saat aroma brambang-bawang di atas wajan menguar. Langkah itu terhenti, bersama suara batuk kering.
Saya rasa ia berada di depan saya. Kami terpisah tembok dapur dan gang sempit, samping rumah yang menghubungkan jalan raya dengan gang 1-A.
Tak lama, suara langkah kakinya menjauh menuju gang 1-A, bersama batuk kering menyertainya. Hati kecil berkata, ia hendak ke rumah.
Ini hari ketiga, suara langkah kaki yang sama dan batuk kering kian nyaring. Suara ketukan pintu, memanggil nama saya yang bergelung dengan aroma oseng ucet dan udang gremut untuk makan petang kami.
“Masuklah, ” saya persilahkan ia duduk di kursi kayu panjang, Kamis (21/11/2024)
“Aku minta makan, bolehkan? ” katanya sambil memegang perut.
Saya ajak ia ke dapur, sebuah piring-sendok ia terima dengan gembira. Diambilnya nasi dari dandang dan oseng diatas wajan.
“Maaf, aku tidak punya apa-apa. Belum makan sejak pagi. Badanku sakit. Empat hari tidak bekerja. Hujan menghujam tubuhku di atas boncengan motor tukang ojek, aku sakit, ”
“Makan lah yang enak. Nanti saja ceritanya. Kopi atau teh?”
“Teh saja kalau boleh, ” katanya sambil mengunyah nasi terburu-buru. Tak lama ia berseru, minta tambah nasi, berikut lauknya. Saya pun mengiyakan.
Nasi pada ronde dua ia nikmati sambil duduk di atas tangga. Nada suaranya lebih tenang, tidak terburu seperti pertama datang. Sebab di dapur ada bubur ketan dan mutiara untuk bekal kakak sekolah.
“Sepertinya enak, aku boleh mencoba? ” katanya sambil memegang mangkuk kosong dan sendok yang diambil dari rak pecah-belah.
Ia ambil secukupnya. Dan kembali bertengger di tangga. Saya menunggu air mendidih sebelum menuangkan pada cangkir berisi teh, jahe, serai dan empat butir cengkih untuknya.
Batin saya berbisik. “Pasti seperti biasanya” Maka dari itu, usai semua makanan tandas masuk perutnya. Saya ulurkan secangkir minum dan kembali duduk di kursi depan.
“Makan dan minumlah, sebab ini yang ku punya. Hidupku pas-pasan. Pas ada, pas tidak, ” gurau saya sambil nyeruput kopi.
Mendengar itu, ia berhenti minum. Sambil menjelaskan jika kedatanganya untuk meminjam selembar uang kertas yang saya pun tidak memilikinya. (Tqi)